Renungan atas Pola Penggunaan Data, Kekhawatiran akan Uncertainty Global, serta Ancaman Resesi Jangka Panjang
Dalam keramaian keseharian perkotaan serta derasnya promosi diskon di mal-mal, terkuak sebuah fakta yang tidak dapat disembunyikan: semakin banyak orang yang mulai bertanya-tanda sebelum mengeluarkan uang mereka. Bukan lantaran ketidakinginan, tetapi disebabkan oleh kurang kemampuan. Bukan dikarenakan kebutuhan yang sedikit, melainkan rasa tidak pasti tentang masa depan.
Peristiwa ini lebih dari sekedar pembicaraan kosong di kedai kopi. Berdasarkan data terkini, diketahui bahwa masyarakat Indonesia sedang merasakan penurunan kepercayaan diri saat memandangi kondisi ekonomi yang akan datang.
Saat kemampuan untuk berbelanja menurun, tidak hanya jumlah pembelian yang berkurang, tetapi juga peluang untuk melihat pertumbuhan ekonomi semakin suram. Pertanyaannya adalah: apa sebenarnya yang tengah terjadi, serta bagaimana cara kita dapat bertahan?
Menerima Pesan dari Alam Semesta: Saat Keseimbangan Dunia Hilang
Sejak awal tahun 2024, planet ini terpapar dalam serangkaian ketidakstabilan yang baru. Perselisihan geopolitik di wilayah Timur Tengah semakin membara, konflik antara Russia dan Ukraine masih berkecamuk, serta meningkatnya tekanan antara China dan Amerika Serikat telah mencekal aliran perdagangan internasional sebelumnya lancarnya.
Sehingga, harga barang-barang naik drastis, suplai terdistorsi, dan inflasi menjelma sebagai ancaman besar, tak terkecuali untuk Indonesia.
Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) telah memperbaharui perkiraan mereka tentang pertumbuhan dunia ke arah yang lebih rendah. Negara-negara berpenghasilan tinggi, yang umumnya mendorong pemulihan ekonomi, kini menghadapi kemacetan. Di sisi lain, negara-negara sedang berkembangan, misalnya Indonesia, perlu merencanakan strategi keluar menggunakan alat kebijakan yang sangat dibatasi.
Di Dalam Negara: Inflasi yang Meredam Kemampuan Membeli
Ketidakpastian kondisi global secara langsung mempengaruhi keluarga di Indonesia. Angka inflasi dasar mengindikasikan ada peningkatan bertubi-tubih dalam tekanan harga, terlebih untuk barang-barang esensial, sektor perpindahan orang dan benda, serta sumber daya energi. Kelompok masyarakat berkasta sedang juga telah merasakan dampaknya.
Orang-orang yang sebelumnya biasa belanja bulanan, saat ini cenderung memilih untuk membeli hanya cukup untuk seminggu sekali, atau malah setiap harinya.
Bukan cuma soal harga, bebannya kehidupan pun ikut meningkat akibat angsuran pinjaman, bunga kartu kredit, serta tarif pendidikan yang makin naik. Kesemuanya ini menyebabkan penurunan kemampuan membeli dengan uang sungguhan.
Suara Data: Kepercayaan Konsumen Semakin Menurun
Dalam pengumumannya, Bank Indonesia menyatakan bahwa Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK) untuk bulan Maret tahun 2025 menurun secara signifikan menjadi angka 121,2 dari yang sebelumnya adalah 125,2 di bulan Februari. Hal tersebut mencerminkan penurunan optimisme publik tentang situasi ekonomi baik saat ini ataupun masa mendatang.
Lebih memprihatinkannya lagi, indeks anak cabang Harapan Pendapatan dan Kesempatan Kerja turut merosot. Ini berarti tidak hanya rakyat kurang percaya diri dalam hal pengeluaran saat ini, tetapi mereka juga ragu-ragu tentang peluang mendapatkan pendapatan yang mencukupi agar dapat melakukan pembelian di masa depan.
Pengurangan tersebut juga dialami oleh kalangan usia Produktif serta area perkotaan besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya — yaitu sentra pertumbuhan ekonomi yang umumnya meramalkan arah pergeseran pola pengeluaran masyarakat secara nasional.
Krisis Sinyal yang Harus Ditanggapi Serius
Bila pembeli menunda kegiatan berbelanja, maka laju perekonomian akan melemah. Produksinya pun ikut merosot, para pemilik usaha bakal memecat pekerjanya sehingga tingkat pengangguran naik. Hal ini dapat membentuk siklus jebakan yang susah untuk dihentikan bila tak segera ditindaklanjuti dengan efektif.
Dalam situasi semacam itu, ancaman akan krisis yang berkelanjutan sungguh ada. Terlebih lagi bila langkah-langkah dari pihak pemerintahan serta pelaku bisnis tak cepat ditetapkan guna menanggapi pengurangan dalam konsumsi lokal yang selama ini jadi penyokong pokok perkembangan ekonomi di Indonesia.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Dalam situasi kurang menguntungkan ini, ada berbagai tindakan yang dapat kami ambil bersama untuk mencegah jatuh lebih dalam ke lubang Krisis:
Pemerintah diharapkan dapat meningkatkan stimulan konsumsi serta pelindungan sosial, terutama bagi kelompok menengah berpendapatan rendah dan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang merupakan penggerak utama perekonomian. Para pebisnis dituntut untuk bersikap fleksibel, menyediakan barang dengan harga lebih murah, menggunakan teknologi digital semaksimal mungkin, serta mempertahankan kepercayaan para pembeli lewat kesopanan dan ketulusan dalam memberikan layanan. Masyarakat juga diminta untuk bijak dalam mengatur finansial individunya, mengendalikan belanja tak penting, rajin menabung, dan mulai mencari cara lain seperti membuka bisnis tambahan atau melakukan investasi yang stabil sebagai antisipasi. Sementara itu, media massa dan komunitas edukator keuangan bertugas aktif mendidik publik supaya mereka tidak gampang cemas tapi masih tetap hati-hati, sehingga bisa membuat keputusan ekonomi dengan logika.
Optimisme yang Tetap Dijaga
Walaupun hambatan terlihat berat, Indonesia mempunyai aset sosial yang signifikan: populasi muda, penyebaran digital yang lebih luas, serta jiwa kerja sama antar sesama yang abadi. Hal-hal ini dapat menghidrasi api optimisme bersama kita sebagai sebuah negara.
Kepercayaan konsumen mungkin merosot, namun nyali untuk memulihkan diri perlu senantiasa hidup. Sebab bagaimana pun juga, pepatah mengingatkan bahwa ribut pasti akan reda — selama kita terus membakar obor, jangan hanya menanti cahaya tiba.
Terus Semangat!!!
Tetap Semangat…
Penulis: Merza Gamal (Analis Sosioekonomi Syariah)