JAKARTA, AsahKreasi
– Venezuela sedang menghadapi krisis ekonomi yang panjang dan telah memasuki tahap kritis dalam beberapa pekan belakangan ini.
Hal tersebut berbarengan dengan penurunan kemampuan konsumen untuk membelanjakan uang mereka serta adanya ancaman resesi. Tahap akhir dari krisis yang telah berlangsung selama 12 tahun ini bahkan menuntut Presiden Venezuela Nicolás Maduro mengeluarkan pernyataan tentang keadaan darurat ekonomi minggu lalu.
Dilansir dari
APNews
, kondisi ekonomi negeri tersebut kembali memburuk dikarenakan penghasilan utamanya dari sektor minyak telah habis lantaran adanya sanksi ekonomi terbaru yang menargetkan Maduro gara-gara penipuan dalam pemilihan umum.
Pemerintah Maduro memiliki sedikit fleksibilitas dalam menanggapi situasi walaupun telah terjadi kestabilan pasca pandemik.
Setelah pandemi COVID-19, masyarakat di Venezuela perlahan mengadaptasi diri dengan melakukan transaksi menggunakan dolar Amerika Serikat untuk memenuhi keperluan sehari-hari.
Mereka pun mengakhiri praktik membawa tumpukan uang bolivar, yaitu mata uang Venezuela yang hampir tak bernilai untuk membeli barang-barang penting.
Perubahan itu adalah dampak dari kebijakan pemerintah yang menghapuskan pembatasan harga pada produk esensial serta membolehkan penggunaan bebas dolar Amerika Serikat oleh para konsumen dan pelaku usaha.
Ubahan itu pun terjadi lantaran pemerintah memakai Bank Sentral Venezuela untuk menginjeksi miliaran dolar Amerika Serikat ke pasar mata uang asing tiap pekan serta mendukung nilai bolivar.
Tindakan pemerintah itu berhasil menghentikan siklus inflasi tinggi yang berlangsung lama dan mencapai angka 130.000 persen di tahun 2018.
Dana Moneter Internasional (IMF) melaporkan bahwa Produk Domestik Bruto (PDB) meningkat 8% di tahun 2022, usai ekonomi menurun kira-kira 80% dari tahun 2014 hingga 2020.
Dolar AS sebagai Aset Permintaan Tinggi
Sama seperti masyarakat di negara-negara Amerika Latin lainnya serta jauh sebelum negerinya runtuh pada tahun 2013, penduduk Venezuela sudah memakai dolar AS sebagai sarana pelindungan kekayaan dan menginterpretasikan kurs mata uang sebagai indikator kesejahteraan ekonomi.
Pemerintahan Maduro memulai penggunaan dana simpanan mereka di tahun 2021 guna mengurangi nilai tukar mata uang dengan cara yang disengaja.
Peristiwa tersebut mengakibatkan masyarakat membayarnya dengan 3,50 bolivar per 1 dolar AS. Ini menimbulkan kurang lebih 67% dari semua aktivitas perdagangan ritel dijalankan menggunakan mata uang luar negeri.
Nilai pertukaran mata uang meningkat dengan lambat, dan tahun 2023 melihat usaha Maduro menambahkan dolar ke ekonominya didorong oleh perusahaan minyak besar Chevron. Perusahaan ini mulai secara teratur mentransfer jutaan dolar ke bank demi mendapatkan bolivar guna pembayaran tagihan pasca izin dari pemerintah Amerika Serikat agar bisa merestart operasionalnya di Venezuela.
Dolar yang disuntikkan membolehkan pemerintah menjaga nilai tukar di kisaran 35 bolivar per 1 dolar AS sampai pertengahan tahun 2024.
Pada bulan ini, tingkat pertukaran resmi telah menyentuh angka 70 bolivar per 1 dolar AS, namun di pasaran gelap, harga tersebut berada pada posisi 100 bolivar per 1 dolar AS minggu lalu.
Pemberlakuan Darurat Ekonomi
Sebelum perbedaan antara nilai tukar resmi dan di pasaran gelap semakin lebar, baik usaha formal maupun tidak formal mengadopsi nilai tukar yang ditetapkan oleh pemerintah dalam melakukan transaksi.
Namun, saat ini, usaha informal seperti pasar pangan di mana kebanyakan penduduk Venezuela berbelanja untuk keperluan makanannya, cenderung mengikuti nilai tukaran mata uang pada pasar gelap. Akibatnya, beberapa produk menjadi sulit dibeli karena harganya yang melambung.
Harga pun naik dalam sektor usaha terstruktur seperti minimarket dan toko alat bangunan, dikarenakan perusahaan mematok harga tersebut dengan dasar estimasi bahwa biaya restock persediaan akan menjadi lebih mahal.
Ekonom Pedro Palma menyebutkan bahwa laju inflasi di Venezuela dapat meroket sebesar 180 hingga 200 persen. Dia memberi peringatan bahwa konsumsi masyarakat akan menurun karena upah yang diterima tak lagi cukup untuk melawan kenaikan harga tersebut. Bahkan beberapa individu berisiko kehilangan sumber pendapatan mereka.
Minggu lalu, presiden Venezuela mengusulkan status darurat dengan memohon penghapusan sementara pajak dan mendesain sistem obligasi pembelian berdasarkan persentase tertentu dari produk dalam negeri guna mendorong penggantian barang impor.
Dia menyambungkan keputusan itu terutama dengan dampak dari tariff Amerika Serikat terhadap perekonomian dunia.
Sebenarnya, permasalahan ekonomi di Venezuela yang terkini muncul sebelum adanya pengumuman dari Trump.
Sejumlah waktu lalu, dia pun menyatakan pengurangan jam kerja bagi pegawai negeri, sehingga memungkinkan mereka memiliki kesempatan untuk mencari pekerjaan sampingan guna menambah pendapatan minimal perbulan sebesar 1,65 dolar AS serta subsidi sebanyak 100 dolar AS.
Namun, kebanyakan perusahaan tidak melakukan perekrutan, dan sejumlah usaha saat ini malah memberi gaji kepada pekerjanya dalam bentuk bolivar daripada dolar AS.
Peristiwa ini telah mendorong kebutuhan akan dolar AS di bursa black market lantaran institusi pertukaran uang mengurangi ketersediaannya bagi publik.
Pertumbuhan ekonomi terbaru merupakan ancaman utama bagi banyak warga Venezuela. Kekhawatan ini sangat besar sampai survei nasional yang diadakan menjelang pemilu mengungkapkan bahwa hampir satu per empat populasi mempertimbangkan untuk pindah ke negara lain, khususnya disebabkan oleh masalah ekonomi.
Namun, pada kenyataannya, kebanyakan orang sepertinya sudah tidak lagi memikirkan hal tersebut, salah satunya disebabkan oleh tindakan keras yang dilancarkan Donald Trump terhadap imigrasi tanpa izin.