Skip to content

Ulama Terkenal: Guru di Balik Kisah RA Kartini, KH Ahmad Dahlan, dan KH Hasyim Asyari

AsahKreasi.CO.ID, JAKARTA – Raden Ajeng Kartini (1879-1904) diketahui telah berjumpa dengan pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan (1868-1923), serta pencetus Nahdlatul Ulama KH Hasyim Asyari (1871-1947). Perkenalan mereka tercatat dalam sejarah di Pesantren Darat, Semarang, Jawa Tengah. Tempat ini adalah salah satu pondok tertua yang setanding dengan Pesantren Dondong di wilayah tersebut.

Di pesantren Darat, para santri belajar dari KH Sholeh Darat (1820-1903). Kiai terkemuka itu populer sebagai pakar fiqih, Tasawwuf, ‘Aqidah, serta berbagai ilmu agama lainnya. Selain dalam karya tulis, interaksi antara mereka juga direkam dalam sebuah film.

Jejak Langkah Dua Ulama

.

Pada masa di mana perempuan menghadapi banyak batasan dan diskriminasi, Kartini muncul sebagai seorang wanita yang kritis serta berani menantang pandangan bahwa perempuan adalah golongan kedua. Ia merangkum serangkaian suratnya yang selanjutnya diterbitkan dalam buku dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang.

Tokoh yang memiliki pengaruh besar pada Kartini adalah KH Sholeh Darat. Ia merupakan seorang ulama ternama yang telah memberi kontribusi signifikan dalam menyebarkan agama Islam serta mendukung bidang pendidikan di wilayah Jawa, terutama di daerah Semarang. Dia dipandang sebagai mentor utama untuk berbagai pemimpin nasional maupun anggota Nahdlatul Ulama (NU). Berikut beberapa informasi mengenai KH Sholeh Darat:

Dakwah dan Pendidikan

KH Sholeh Darat mendirikan Pesantren Darat di Semarang dan melaksanakan pengajaran di beberapa lokasi, salah satunya adalah Mekkah. Selain itu, beliau telah menyusun sejumlah buku yang tetap menjadi rujukan sampai saat ini, contohnya bukunya dengan judul “Faidlur Rahman fi Bayani Asrarir Qur’an”, sebuah interpretasi Al-Quran dalam bahasa Jawa yang merupakan tafsiran pertamanya.

Perlawanan Damai

Ia juga diakui atas perjuangan non-keras menentang kekuasaan kolonial dengan menerbitkan fatwa yang melarang umat Muslim memakai pakaian gaya kolonial.

Inspirasi Tokoh Nasional

Banyak pemimpin nasionalis mendapat inspirasi dari KH Sholeh Darat, entah itu lewat penebangan pikirannya atau karyanya berupa buku-buku.

Karya Tulis

Ia telah menyusun berbagai karya dalam bidang fikih, tasavvuf, dan tafsir, termasuk juga beberapa buku mengenai prosedur haji, metode salat, dan pengetahuan Al-Quran.

Pengaruh Luas

Bukan hanya dipakai di pesantren, bukunya ini pun banyak digunakan dalam beragam majelis taklim serta menjadi panduan untuk publik yang lebih luas.

Diusulkan jadi pahlawan nasional

Pemerintah Kota Semarang berencana untuk mendukung dan memfasilitasi agar tokoh bernama Muhammad Sholeh bin Umar al-Samarani yang umumnya disebut dengan gelar KH Sholeh Darat diakui sebagai pahlawan nasional. Ia dipandang sudah menyumbangkan teladan hidup dalam proses penyebaran agama Islam serta membuktikan perlawanan terhadap kolonialisme menggunakan metode perdamaian.

Kiai Sholeh Darat adalah orang yang berperan dalam membangun pemikiran dan kedalaman ilmu agama bagi para tokoh organisasi Islam di tanah air. Selain itu, menurut Iswar, Kiai Sholeh juga dikenal sebagai guru besar untuk KH Hasyim Asy’ari (yang mendirikan Nahdlatul Ulama), KH Ahmad Dahlan (yang pendirian Muhammadiyah-nya), serta RA Kartini.

Istilah dan pemikiran yang ditinggalkan oleh Kiai Sholeh Darat tetap bermanfaat sebagai panduan dalam menjalani hidup bersama-sama bangsanya dan negaranya. Pada zamannya, KH Sholeh Darat pernah merilis larangan bagi umat Muslim untuk memakai pakaian bergaya kolonial.

“Keunggulan beliau pada masa tersebut adalah dengan mengajak masyarakat untuk tidak menggunakan pakaian sebagaimana digunakan oleh orang-orang kolonial, entah itu Inggris atau Belanda. Sebagai upaya melawan kolonialisasi, Mbah Sholeh Darat memberikan fatwa agar masyarakat tidak memakai dasi, jas, dan bahkan dilarang memakai celana. Hal ini merupakan bagian dari perlawanan terhadap kolonisasi,” ungkap KH Anasom, anggota NU di Semarang.

Komunikasi antara KH Sholeh Darat dan Kartini

Tidak banyak sumber tulisan yang mendeskripsikan pertemuan antara Raden Ajeng (RA) Kartini dan tokoh agung ulama bernama KH Muhammad Shaleh bin Umar Assamarani alias Kiai Sholeh Darat. Interaksinya dengan penulis buku tafsiran Fath Al-Rahman ini mempengaruhi cara pandangnya tentang Islam, khususnya sesudah dia belajar tafsir dari ayat Al-Fatihah oleh Kiai Sholeh Darat.

Dalam suratnya tertulis tanggal 6 November 1899 untuk teman dekatnya berinisial S.Z., yaitu Stella Zihandelaar, R.A. Kartini menuangkan keraguannya tentang agama Islam yang dipegainya. Dia menegur para ulama dan pengurus masjid pada masa tersebut karena mereka cuma mengajar bagaimana cara membaca teks dalam Al-Quran tanpa menjelaskan maknanya, bahkan sang guru pun demikian.

“Saya kira, itu gila untuk mengajar seseorang membaca tetapi tidak mengajarkan maknanya. Ini setara dengan Anda meminta saya menghapal bahasa Inggeris tanpa diberikan terjemahannya. Saya rasa menjadi orang yang berbudi pekerti lebih penting daripada menjadi seorang saleh. Bagaimana menurutmu Stella?” tulis RA Kartini kepada Stella.

Sebagai putri dari seorang Bupati, wanita itu memiliki pembatasan sosial sehingga sulit untuk belajar secara mendalam di pesantren atau madrasah. Selain itu, para guru pengajinya pun belum mampu menjawab rasa ingin tahunya tentang agama Islam. Akibatnya, hal tersebut semakin meningkatkan ketidakpercayaannya pada keyakinan agamanya sendiri. Ia bahkan merasakan keragu-raguan apakah para gurunya benar-benar paham akan makna ayat-ayat Al-Quran yang mereka ajarkannya padanya.

“Mungkin guru-guru saya juga bingung dengan maknanya. Jelaskan padaku apa arti dari semua itu, dan kemudian biarkan aku menelaahnya lebih lanjut. Saya merasa bersalah. Buku ini begitu kudus hingga kita dilarang untuk memahami maksudnya,” demikian ditulis Kartini dalam surat tanggal 15 Agustus 1902 yang diakirimkan kepada Ny. Abendanon, seorang petugas pendidikan di Hindia Belanda.

Tentu saja kondisi pada waktu itu cukup berat bagi orang-orang yang ingin mempelajari agama dengan lebih mendalam akibat dari peraturan yang dibuat oleh pihak kolonial. Salah satu aturannya ialah pelarangan menerbitkan terjemahan Al-Quran ke dalam bahasa setempat, misalnya Bahasa Jawa.

Sehingga masyarakat Muslim saat itu kurang mengerti tentang agama mereka secara mendalam, termasuk juga RA Kartini. Mereka kebanyakan hanya membaca Al-Qur’an tanpa benar-benar memahami maksud atau sekadar terjemahanannya.

Akan tetapi, secara bertahap namun pasti, pertemuan antara dirinya dengan Kiai Sholeh Darat menjadi titik balikknya. Momen ini muncul saat menghadiri kajian agama di kediaman Bupati Demak Pangeran Ario Hadiningrat, yang merupakan paman dari dia sendiri.

Tepat pada saat tersebut, Kiai Sholeh Darat menerjemahkan Surat Al-Fatihah ke dalam bahasa Jawa. RA Kartini sangat kagum dengan hal ini dan menyimak setiap katanya dari pembicaraan sang pemurid.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *