Siapa Nama Kardinal Ignatius Suharyo, Potensial Paus Pertama dari Indonesia?



AsahKreasi


,


Jakarta


– Pemilihan Paus yang baru diadakan mulai Selasa, 7 Mei 2025, usai meninggalnya Paus Fransiskus. Kardinal Archbishop dari Jakarta juga terlibat dalam pemilihannya.
Ignatius Suharyo
Menjadi satu-satunya warga Indonesia yang berpartisipasi dalam konklav di Kapel Sistina, Vatikan, itu.

Sejak wafatnya
Paus
Pada tanggal 21 April kemarin, Dewan Kardinal sudah menyiapkan konklav guna mencari pengganti Paus. Menurut situs web resmi Vatikan, terdapat sekitar 135 kardinal di seluruh dunia yang berhak memilih dan juga dapat dipilih sebagai pemimpin Takhta Suci Vatikan. Di antara mereka adalah Kardinal Suharyo.

Pemilihan akan diselenggarakan dengan cara tertutup di dalam Kapel Sistina. Menunjuk pemimpin bagi Gereja Katolik berikutnya merupakan momen signifikan, mengingat institusi tersebut menjadi wadah untuk kira-kira 1,4 miliar jemaah Katolik yang sudah melalui proses baptisan di penjuru dunia. Konklaf terakhir kali digelar tahun 2013 lalu.


Profil Kardinal Ignatius Suharyo

Dilansir dari situs resmi

Vatikan,

Kardinal Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo merupakan kardinal ke tiga dalam catatan sejarah Gereja Katolik Indonesia. Beliau dilahirkan pada tanggal 9 Juli tahun 1950 di daerah Sedayu, Bantul, Yogyakarta. Orang tua beliau dikaruniai sembilan orang putra dan satu orang putri; yang membuatnya menjadi anak urutan tujuh dari keseluruhan adik-beradiknya. Salah satu kakak lelakinya memilih jalan hidup sebagai biarawan sementara kedua kakak perempuan lainnya telah mengabdikan diri kepada Tuhan dengan cara bergabung dalam kehidupan biarawi.

Di usia 11 tahun, Suharyo bergabung dengan Seminari Menengah Mertoyu dan lulus pada tahun 1968. Setelah itu, dia berpindah ke Yogyakarta guna melanjutkan pendidikannya dalam bidang filsafat dan teologi. Dia menyelesaikan programnya ini di Roma, tepatnya di Universitas Kepausan Urban. Di tempat tersebut, ia meraih gelar lisensiata pertama pada 1979 dan dilanjutkan dengan doktora pada tahun 1981.

Setelah melengkapi program studinya, Suharyo kembali ke Seminari Tinggi Yogyakarta dalam posisi sebagai formator. Pada bulan Januari tahun 1976, beliau dikonsekrasi sebagai imam oleh Kardinal Darmojuwono. Selama periode tersebut, dia menyediakan layanan sampai tahun 1997 serta memegang beberapa kedudukan dalam dunia pengajaran filsafat. Dia juga berperan sebagai profesor agung dan ketua Fakultas Teologi di Universitas Jesuit Sanata Dharma.

Setelah itu, Suharyo ditunjuk menjadi Uskup Agung Semarang oleh Yohanes Paulus II pada tanggal 21 April 1997, dan ia mendapatkan pengisytiharan keuskupan dari Kardinal Julius Darmaatmadja pada 22 Agustus 1997. Motto yang dipilihnya adalah:

melayani Tuhan dengan segala kerendahan diri

Yang berarti mengabdi kepada Tuhan dengan kehumblean yang mendalam. Slogannya berasal dari Kitab Kisah Para Rasul (20:19).

Sebagai pemimpin selama tiga tahun sampai tahun 2000, dia mengarahkan Komisi Dialog Antar Agama pada Konferensi Waligereja Indonesia (KWI). Ia menjabat sebagai sekretaris jenderal mulai tahun 2000 hingga 2006. Di tahun 2006, posisinya berubah menjadi wakil presiden KWI dan bertugas hingga 2012. Kemudian, sejak 2012 hingga 2022, perannya naik lagi menjadi presiden KWI.

Pada tanggal 25 Juli 2009, beliau ditunjuk sebagai asisten Uskup Agung Jakarta kepada Kardinal Darmaatmadja. Satu tahun setelahnya, tepatnya pada 28 Juni 2010, dia mengambil alih posisi Uskup Agung Jakarta melalui proses suksesi. Ini berarti bahwa Suharyo sudah memegang jabatan ini hampir selama 15 tahun. Mulai dari tahun 2012, Suharyo juga dipilih menjadi Presiden Konferensi Episkopal dan dilantik kembali untuk tiga masa jabatan berturut-turut; yang paling baru adalah pada tahun 2021.

Pada bulan September tahun 2019, Tahta Suci Vatikan merilis pengangkatan 13 Kardinal baru pada tanggal 1 September 2019. Di antara mereka terdapat nama Suharyo. Ini menandai bahwa beliau menjadi kardinal ke tiga dari Indonesia. Sebelumnya, dua tokoh lain juga telah diakui sebagai kardinal yaitu Mgr. Justinus Darmojuwono, uskup agung emeritus Semarang yang meninggal dunia serta dicalonkan jadi kardinal pada tahun 1967, dan juga Mgr. Ignatius Suharto Harjoso selaku Uskup Agung Jakarta masa jabatan 1996 hingga 2010, yang dipromosikan sebagai kardinal pada tahun 1994.

Namun, berita baik tersebut sungguh menyentuh hati Suharyo. Ketika ia menerima pengangkatannya sebagai kardinal di awal September 2019, lelaki berumur 69 tahun waktu itu merasa sangat terkejut dan belum siap. Ia menekankan bahwa posisi tersebut serius, apalagi dengan beban tanggung jawab etis yang harus ditanganinya. “Posisi ini benar-benar penting,” ujar Suharyo ketika ditemui.

Tempo

Di tempat tinggalnya di area Gereja Katedral, Jakarta Pusat, tahun 2019. “Saya mempertimbangkan tanggung jawab etis.”

Karena pemikiran tersebut, tekanan darah Imam kelahiran Sedayu, Bantul, Yogyakarta, naik drastis mencapai 170. Namun, Suharyo tidak bisa menolak pengangkatan yang menjadi hak istimewa Sri Paus itu. Bedanya, jika posisi Uskup memiliki batas waktu pensiun, sedangkan kehormatan Kardinal bersifat seumur hidup.

Kardinal pun tidak memiliki “wewenang wilayah” seperti halnya pendeta paroki ataupun uskub. Usai secara resmi mengenakan jubah merah (seragam kardinal), Suharyo ditugasi untuk berperan sebagai asisten dan penasihat terdekat bagi sang Paus. Meskipun demikian, Ignatius menekankan bahwa dia masih akan melaksanakan perannya sebagai uskub di Jakarta, Ordinaris Militer, serta Ketua Konferensi Waligereja Indonesia. “Saya jarang sekali ke Vatikan jika bukan dipanggil,” katanya.

Saat ini Suharyo memiliki kesempatan untuk menjadi Paus, sang pemimpin tertinggi dari Tahta Suci Vatikan. Meski demikian, Suharyo menyatakan dirinya tak berniat kuat untuk menduduki posisi tersebut. Ia menjelaskan bahwa menjadi Paus bukan merupakan langkah naik jabatan dalam kariernya. Bagi Suharyo, seseorang dengan ambisi tinggi ingin menjadi Paus sebenarnya kurang bijaksana.

Dia menceritakan, ada sebuah peribahasa populer di antara para kardinal tentang hasil dari konklaf tersebut. “Jika seseorang datang sebagai kandidat untuk menjadi Paus, setelah proses dia akan keluar hanya sebagai kardinal,” jelasnya saat ditemui di Gereja Katedral Jakarta pada hari Kamis, 24 April 2025. Dia menambahkan dengan tegas, “Maka sebaiknya tidak memandang posisi Paus sebagai sesuatu yang harus dicapai.” “Dan jika seseorang memiliki cita-cita ingin menjadi Paus, saya minta maaf tetapi itu adalah hal yang bodoh,” ungkapnya.

Dia menyebut bahwa proses pemilihan Paus berbeda dari biasanya dalam memilih presiden atau perwakilan tertinggi lainnya. Menurut dia, keberhasilan seseorang dipilih sebagai Paus tidak ditentukan oleh jumlah votenya yang paling banyak di antara para kardinal. Suharyo memberikan contohnya saat ini.
Paus Fransiskus
Terpilih pada tahun 2013, dia menyebutkan bahwa nama Jorge Mario Bergoglio awalnya bukanlah kandidat favorit yang paling kuat, namun akhirnya berhasil dipilih. “Berdasarkan keyakinan Gereja Katolik,” katanya, “ini merupakan sebuah arahan dari Roh Kudus.”


Novali Panji Nugroho, Ida Rosdalina, Dian Rahma Fika,

dan

Stefanus Teguh Edi Pramono

menyumbang untuk penyusunan artikel ini.

Kardinal Suharyo Ungkapkan Kebersahabatan Khas Nusantara Saat Konklaf di Vatikan

Artikel menarik Lainnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com