Samsudin dan Rahasia Istrinya: Kisah Cinta yang Tak Terduga

Samsudin (bukan nama asli) adalah satu dari sejumlah teman yang saya percayai, dan saya anggap dapat “dipegang” omongannya.

Kita sudah menjadi teman sejak masa perkuliahan. Sama-sama dari satu fakultas, memiliki pemikiran yang serupa, namun dengan tujuan dan misi yang berbeda.

Setelah sebulan berlalu, saya memberitahunya bahwa saya ingin bertemu jika dia sedang ada di Kota Pontianak (saat itu Samsudin berada di Jakarta).

Jadi minggu lalu dia akhirnya menyentuhkan diri. Ia menjemput saya saat waktu istirahat kerja.

Samsudin tidak mengalami perubahan yang signifikan selain dari penampilan rambut dan pakaiannya. Dahulunya, rambutnya panjang hingga pinggang, acak-acakan, serta kasar. Ia memiliki mata yang tegas dan gerakan tubuh yang kuat meskipun biasanya memilih untuk berpakaian sederhana atau ala kadarnya.

Sekarang? Jangan ditanya, ia adalah seorang pemimpin di sebuah kantor yang bergerak di bidang kredit kendaraan bermotor. Gajinya puluhan juta, sudah tentu penampilannya perlente.

Namun saya memperhatikan bekas luka yang ditempeli perban kecil di punggung tangan kirinya. Entah apa, saya berniat menanyakannya nanti.

Samsudin menjadi contoh bahwa rejeki merupakan suatu misteri, dan tidak seorang pun dapat memprediksi siapa yang akan diberkahi oleh Tuhan dengan karunia-Nya.

“Mau makan apa, Dik?

Miris sekali! Mie cepat saji di tepi jalan, Sam!

Samsudin terkikik. “Hei… jangan menjadi orang yang sulit! Pililhlah yang lain!”

Setelah itu, saya sebutkan tempat makan favorit istriku beserta dengan klubnya. Informasi singkat tentang bagaimana istriku bersama kawan-kawannya mendirikan sebuah kelompok bernama “Komunitas Cincau”. Memilih nama untuk grup tersebut ternyata sangat tidak tepat.

Setibanya di rumah makan, saya dan Samsudin berhasil mendapat tempat duduk di area outdoor. Area indoor sudah penuh dengan para gadis muda. Anehnya, mereka terlihat sangat nyaman meskipun banyak dari mereka tampak tidak benar-benar menikmati hidangan yang ada, tetapi lebih asyik memotret ini itu di mana-mana.

“Hahaha, hal-hal seperti ini terlalu berlebihan untukku,” kata Samsudin sembari menggelengkan kepala dengan senyum tipis.

“Sudah cukup, Sam. Zaman itu telah berlalu,” sahutku sembarangan.

Setelah menyantap makan siang, kita berdua mengobrol dengan sungguh-sungguh seputar profesi, petualangan kehidupan, serta kenangan lama.

ternyata goresan ringan yang kuperhatikan dari tadi disebabkan oleh dia sebelum menjemputku, sempat mengikuti pemeriksaan medis untuk proses pelamaran pekerjaan baru di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.

“Meski gajinya lebih kecil, tapi aku masih bisa dekat dengan orang tuaku. Mereka sudah sepuh.”

Walaupun Samsudin mengatakan bahwa gajinya rendah, namun nominal tersebut tetap mencapai puluhan juta rupiah. Hanya untuk memberikan informasi tambahan.

Kata-kata Samsudin segera membawa ingatan saya pada orang tua di rumah. “Tepat!”

Usia orangtua saya dan orangtua Samsudin adalah sama: tujuh puluh enam tahun.

“Apa kabar istri Anda?” tanyaku.

“Sekarang yang mana?” balas Samsudin.

Kamu bermaksud yang mana, Sam?

Samsudin terkekeh pelan dengan wajah yang merendah. Ternyata dia kini telah memiliki dua isteri. Sungguh berbeda jauh dari apa yang saya perkirakan tentang pergantian jalannya hidup Samsudin ini.

Maka apa tanggapan istrimu yang pertama?

Iya, awalnya kesal. Tetapi apa boleh buat. Saya tidak pernah menipu orang lain.

“Kenapa kau lakukan itu?”

Samsudin menghembuskan napas cukup dalam sebelum akhirnya tergelak. “Kamu telah lama mengenal saya. Kamu pasti paham betapa sulitnya bagi saya untuk menyimpan ‘nakal selangkangan’ ini. Lebih baik nikah lagi daripada berfoya-foya.”

Saya hanya tertawa mendengarnya. Saya tidak akan pernah menilai sudut pandang orang lain, apalagi tentang kehidupan, karena kaki kita tentunya berbeda ukuran, dan kesulitan dalam menjalani hidup tidak dapat diukur.

Namun, saya sudah belajar banyak dari para pria yang memilih untuk menikahi lebih dari seorang wanita, bahwa pendapatan tinggi sangat diperlukan.

Meskipun di luar sana ada yang menyebutkan bahwa tak perlu menjadi kaya untuk dapat menikahi beberapa wanita, namun berdasarkan pengalaman saya, lelaki dengan finansial lebih stabil cenderung lebih mampu mengelola isteri-istri mereka daripada mereka yang kondisi ekonominya masih terbatas.

Ini hanya masalah akal sehat saja. Bagaimana dia dapat mempertimbangkan untuk menikah lagi ketika sedang dilanda krisis keuangan?

Menikah pada kondisi ekonomi saat ini, terlebih lagi jika dilakukan lebih dari sekali, adalah suatu tantangan berat. Saya ingin mengutip pendapat dari Dr. Rahmani Timorita Yulianti, M.Ag., seorang dosen bidang Ekonomi Islam di Universitas Islam Indonesia, seperti yang disebutkan dalam esai bertajuk “Kesejahteraan Keuangan Keluarga serta Keserasian Dalam Lingkungan Rumah tangga Muslim”.

Menurut pendapatnya, manajemen ekonomi dalam keluarga Muslim merupakan proses pengelolaan sumber daya kekayaan, termasuk usaha untuk meningkatkan jumlah aset serta mendistribusikan mereka, yang dikerjakan oleh para anggota keluarga seperti orang tua dan anak-anak terikat oleh aturan moral dengan tujuan meraup ridha dari Allah subhanahu wa ta’ala.

Seimbangkan antara pendapatan dan pengeluaran di dalam sebuah keluarga Muslim adalah fondasi untuk manajemen keuangan rumah tangganya.

Menurut pandangan saya, menjaga kesetaraan antara pendapatan dan pengeluaran adalah aspek penting. Namun, mencapai keseimbangan ini bisa menjadi tantangan besar bagi para suami dengan istri tunggal yang berencana menikah lagi, apalagi hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti pembelian beras saja sudah cukup melelahkan. Saya sarankan agar tidak melanjuti rencana tersebut jika dapat merugikan pasangan baru!

Saya tidak berniat untuk mencegah atau menolak, apapun itu namanya. Namun, minimal sebelum membagikan “kedaulatan” kepada istri baru Anda kelak, coba usaha untuk bersikap jujur dan adil pada diri Anda sendiri.

***

Saat berada dalam perjalanan kembali ke kantor, saya dan Samsudin berkaca-kali tentang kenangan masa studi kita di universitas.

Kami benar-benar rindu dengan rekan-rekan lain. Lama sudah tak bersua. Belasan tahun terlewati.

Sebelum keluar dari mobil, saya mengucapkan terima kasih dan bersalaman dengan Samsudin.

“Terima kasih, Sam. Mohon maaf lahir batin!”

“Sama-sama, Dik!”

“Sampaikan salamku kepada keluargamu.”

“Keluarga yang mana?”

Saya membelai kepalaku sejenak. “Keduanya!”

Samsudin dan aku tertawa sangat keras.

—-

Dicky Armando, S.E. – Pontianak

Artikel menarik Lainnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *