JAKARTA, AsahKreasi—
Kejaksaan Agung (Kejagung) telah mengidentifikasi Advokat Ariyanto Bakri alias Ary Bakri sebagai tersangka dalam kasus diduga penerimaan suap terkait dengan pengurusan perkara ekspor minyak kelapa sawit mentah (CPO), yang sedang diproses di Pengadilan Tipikor dari PN Jakarta Pusat.
Sebelum diumukan sebagai tersangka, Ary Bakri rupanya sudah cukup dikenal publik, bukan karena kiprahnya sebagai pengacara, melainkan konten yang ia unggah di media sosial.
Lewat akun
Instagram
dan
TikTok
Miliknya, Ary sering memposting isi dengan tema “Jakarta Menawan untuk Gadun FM,” yang mencakup gaya hidup orang-orang dari kalangan berada.
Pada sejumlah video yang diposting ke profil media sosialnya
Instagram
@arybakri, lelaki botak itu sering menunjukkan dirinya saat berada di atas kapal layar.
Beberapa video lain menunjukkan salah satu pendiri Ariyanto Arnaldo Law Firm (AALF) berada di sebuah ruangan berisi koleksi helm-helm mewah.
Ary Bakri pun memposting beberapa klip videonya ketika dia sedang di luar negeri.
Unggahan-unggahannya itu menuai beragam reaksi warganet, terlebih setelah status tersangkanya diumumkan.
Sebagian warganet menyayangkan gaya hidup mewah yang dipertontonkan Ary, sementara Ary tengah berurusan dengan hukum karena diduga menyuap hakim.
“
JAKARTAA KEREENNN… MINIMAL KALO HASIL NGERAMPOK NEGARA GAUSAH FLEXING ????
Tulis nama pengguna Instagram @Al* tersebut.
postingan
terakhir Ary Bakri.
“
Sementara ini mata kuliahnya di-liburkan… karena sang dosen sedang mengikuti kegiatan pengajian.
,” tulis akun @cu**.
Peran Ary Bakri
Pada kasus yang melibatkannya, Ary diduga bertindak sebagai perantara suap di antara pihak swasta dan petugas kepolisian yang menguruskan perkara CPO.
Ary, yang merupakan penasehat hukum bagi tersangka korporasi CPO, dicurigai telah memberikan sejumlah uang kepada panitera muda di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Wahyu Gunawan (WG).
Ary menyerahkan uang melalui Wahyu sebagai pengantar suap kepada Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada masa itu, Muhammad Arif Nuryanta, agar memperoleh keputusan bebas atau penangguhan hukuman bagi tiga perusahaan besar ini: PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, serta PT Musim Mas Group.
“Jadi, sudah jelas dan terang benderang bahwa uang itu diterima oleh Wahyu, panitera itu dari Ariyanto,” kata Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Abdul Qohar, dalam konferensi pers di gedung Kejaksaan Agung, Senin (14/4/2025).
Dalam perkara ini, Kejagung menyita satu unit mobil merek Toyota Land Cruiser dan dua unit mobil merek Land Rover dari Ary.
Selanjutnya, petugas dari Korps Adhyaksa menyita total 21 kendaraan roda dua dalam bentuk sepeda motor serta tujuh sepeda dengan variasi merk yang bervariasi dari tempat tinggal Ary.
Di samping ratusan unit kendaraan bermotor termasuk sepeda, Kejagung juga mengamankan 10 lembar uang kertas bernilai 100 dolar Singapura, ditambah lagi dengan 74 lembar pecahan 50 dolar Singapura.
“Diambil dari tempat tinggal Ariyanto Bakri (pengacara perusahaan),” ujar Abdul Qohar.
Berikut adalah informasinya, Kejaksaan Agung telah menunjuk empat hakim menjadi tersangka terkait dugaan suap dalam pengurusan kasus korupsi ekspor CPO.
Pelaku utama yang dijadikan tersangka adalah Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta, pada hari Sabtu (12/4/2025) malam.
Selanjutnya, pada hari berikutnya, Senin (13/4/2025), ketiga hakim tambahan yang mengikuti Ketua PN Jaksel ialah Agam Syarif Baharuddin, Ali Muhtarom, kedua-dua hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, serta Djuyamto sebagai hakim dari PN Jaksel.
Ketiganya merupakan majelis hakim yang mengadili perkara ekspor CPO.
Arif, saat itu menjabat sebagai wakil ketua di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, diduga menerima dana sebesar 60 miliar rupiah dari Marcella Santoso, pengacara perusahaan, serta Ariyanto Bakri.
Arif setelah itu menyebarkan uang yang tidak sah itu ke tiga hakim supaya mereka dapat menentukan agar PT Wilmar Group dijatuhkan hukuman terpisah.
Kejaksaan Agung mengatakan bahwa tiga hakim lainnya, yaitu Agam Syarif yang mendapat suap sebesar Rp 4,5 miliar, Djuyamto dengan penerimaan Rp 6 miliar, serta Ali Muhtarom yang memperoleh uang suap senilai Rp 5 miliar dalam kasus korupsi tersebut.