Menikah karena Gengsi: Ketika Cinta Harus Mengalah demi Tekanan Sosial

Tiap kali menghadiri acara pernikahan, seringkali timbul pertanyaan dalam pikiran sebagian besar pemuda: “Ini harus merogoh kocek berapa juta yah?”

Di pikiran para pemuda pada masa kini, pertanyaan seperti itu tidak hanya menunjukkan rasa ingin tahu, tetapi juga merupakan ekspresi ketidaknyamanan.

Pada saat tren perkawinan menjadi lebih sederhana dengan melangsungkan akad nikah di KUA tanpa pesta besar-besaran, sebenarnya perkawisan di Indonesia tetap saja terkait erat dengan harapan keluarga luas serta adat istiadat yang sudah mendalam.

Pada tahap ini, kenyataan dan impian kerapkali bersengketa. Pemuda ditempatkan pada pilihan berat: antara kepercayaannya terhadap kemudah hidup dan mandiri, atau menurut ekspektasi orang tua serta aturan masyarakat yang tetap menghargai lambang-lambang dalam perkawinan.

Sehingga, tidak sedikit pemuda yang lebih memilih untuk menangguhkan atau bahkan menjauhi ikatan perkawinan.

Biaya mahal dan prosedurnya yang kompleks untuk pernikahan, bersamaan dengan penghasilan bulanan yang cukup rendah ketimbang biaya hidup, merupakan elemen penting dari penurunan jumlah perkawinan di Indonesia belakangan ini dalam kurun waktu beberapa tahun.

Di tengah perkembangan masyarakat yang pesat, pernikahan kini bukan hanya tentang kasih sayang atau komitmen suci, tetapi juga berkaitan dengan aspek-aspek seperti manajemen keuangan, harapan sosial, serta ketidakseimbangan ekonomi.

Pada masa lalu, perkawinan diartikan sebagai titik permulaan bagi dua individu yang akan menghadapi tantangan hidup bersama.

Namun saat ini, banyak orang memandang pernikahan sebagai suatu bentuk pameran sosial: betapa mewahnya acara resepsinya, bagaimana gemerlap hiasannya, serta berapakah jumlah undangan yang dikirim—seperti halnya indikator kesuksesan seseorang.

Inti dari perkawinan sebagai petualangan spiritual antara dua orang seringkali tertutupi oleh fokus pada pesta satu hari saja.

Banyak pasangan pada akhirnya memutuskan untuk menikah bukannya karena sudah siap dari segi emosi maupun keuangan, tetapi lebih disebabkan oleh dorongan keluarga, tekanan umur, atau agar terhindar dari celaan masyarakat. Tidak sedikit juga yang termotivasi oleh hasrat untuk tampil bergengsi.

Sebagai akibatnya, pesta pernikahan berubah jadi suatu proyek raksasa yang memakan biaya hingga merogoh kocek dan menimbulkan utang—terkadang melalui metode-metode yang tak masuk akal. Segala upaya ini dilakukan hanya untuk menyambut hari yang dikenal sebagai “sekali dalam satu masa hidup”.

Sekuat apapun menikmati momen perayaannya, ketika hingar bingarnya berlalu, realitas kehidupan sebenarnya baru saja muncul. Bertambahnya tanggungan keluarga datang bersama peningkatan biaya hidup, angsuran, perlengkapan rumah, serta persiapan untuk masa yang akan dating.

Ironisnya, banyak pasangan malah telah kehilangan energi dan sumber daya finansial sebelum mereka sungguh-sungguh menjalani kehidupan bersama.

Dalam hal ini, biaya tinggi dari pernikahan tidak terbatas pada jumlah uang rupiah saja, melainkan juga mencakup harga berupa tekanan emosi dan keterbukaan atas risiko finansial.

Data mengindikasikan bahwa masalah keuangan adalah alasan terbesar untuk perceraian di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa krisis perkawinan bukan hanya soal individu saja, tetapi juga refleksi dari tantangan struktural yang lebih besar: cara pandang masyarakat tentang perkawinan, bagaimana tekanan sosial berperan, serta bagaimana sistem ekonomi kurang mendukung generasi muda.

Tebasan tersebut berasal dari berbagai pihak. Keluarga luas kerap kali menjadi penyumbang harapan yang signifikan: mulai dari penentuan tempat pernikahan, jumlah undangan, sampai kekomplekan dan biaya upacara tradisional yang melimpah.

Harapan pasangan muda yang ingin menikah dengan cara sederhana sering diartikan sebagai tindakan hemat sampai kejam atau kurang memperdulikan adat istiadat.

Sayangnya, bantuan keuangan dari orang tua tak selalu sesuai dengan tingkat harapan. Terakhir, para istri dan suami baru banyak yang menghadapi tekanan tersebut, sementara kondisi finansial mereka masih dalam tahap pengembangan.

Setelah acara pernikahan usai, tugas belum berakhir. Memenuhi kebutuhan hunian, pengeluaran rutin sehari-hari, perlengkapan rumah tangga, serta biaya darurat lainnya kini menjadi tantangan baru.

Ketika seorang anak datang mengisi kehidupan keluarga, konsumsi finansial menjadi lebih tinggi secara signifikan: mulai dari perawatan kehamilan, biaya melahirkan, sampai dengan berbagai keperluan pertumbuhan dan perkembangan si buah hati yang makin banyak.

Sebaliknya, struktur sosial dan ekonomi kita masih belum menyediakan cukup tempat yang aman untuk pasangan pemula. Biaya hunian yang mahal, keadaan pekerjaan yang tak menentu, serta kurangnya kesempatan mendapatkan bantuan perumahan atau program dukungan bagi keluarga baru menjadikan rintisan mereka lebih sulit dari seharusnya.

Banyak kali, sepasang suami istri yang baru menikah pada akhirnya masih bergantung kepada orangtua mereka, ini membuat siklus ketergantungan berlanjut dan menghalangi pembentukan kedaulatan diri.

Hal ini mengindikasikan bahwa perkawinan tidak dapat dijadikan jawaban untuk tekanan sosial, malah seringkali bisa membuka pintu bagi tekanan-tekanan baru yang bahkan lebih kuat.

Saat rasa malu didahulukan daripada kesediaan, dan tekanan sosial terlalu besar dibandingkan akal sehat, pernikahan yang semestinya memulai kegembiraan dapat berubah menjadi sumber masalah finansial dan emosi.

Kini waktunya bagi kita selaku masyarakat untuk merombak persepsi tentang perkawinan. Perkawinan tak semata-mata urusan menunjuk-j pointing kemewahan atau menyelenggarakan pesta, tetapi lebih kepada kedua orang yang sudah siap hidup berdampingan baik dalam kebahagiaan ataupun kesulitan.

Menyokong keputusan pasangan yang menginginkan pernikahan sederhana, membantu agar mereka mandiri, serta merancang struktur sosio-ekonomi yang bersahabat dengan keluarga baru merupakan tahap pertama untuk membangun komunitas yang lebih baik dan adil.

Artikel menarik Lainnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com