jatim.AsahKreasi
, SURABAYA – Di balik wanita-wanita perkasa seringkali terdapat figur pria kuat yang secara diam-diam membangun jalannya. Cerita tentang RA Kartini pastinya tidak akan utuh jika tanpa mencantumkan sang bapak, RMAA Sosroningrat—a seorang tokoh yang berani memberikan Kartini kesempatan untuk mendapatkan pendidikan serta mengeksplorasi dunia di luar sana.
Laporan Arry Saputra, Surabaya
Jauh dari zaman Kartini, di suatu pojok kecil di Sidoarjo, cerita mirip pun berulang. Bukan dalam kalangan aristocrat, melainkan di keluarga biasa-biasa saja. Firman Talkah, seorang anak tanpa orang tua, menjalankan peran sebagai bapak untuk mengasuh lima buah hatinya, empat gadis dan satu laki-laki.
Dari lima orang anaknya, tiga di antara mereka adalah putri yang berhasil meraih gelar professor. Putra tertua dari mereka, Prof (R) Dr Ir Anita Firmanti, MT, sebelumnya telah menempati posisi sebagai Sekretaris Jenderal Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) pada tahun 2023.
Anak ke dua dari Prof Dr Anggraini Dwi S, dr, SpRad, Subsp.NKL(K), seorang profesor di bidang neuroradiologi, serta anak tiganya, Prof Dr Aktieva Tri Tjitrawati, SH, MHum, ahli dalam hukum kesehatan nasional.
“Bapakku adalah seorang anak yatim piatu sejak kecil dan dibesarkan oleh pamananya. Dia menempuh pendidikan di sekolah guru berkat beasiswa,” jelas Anggraini.
Setelah menyelesaikan pendidikannya, Firman memutuskan untuk menjadi guru di sebuah desa terpencil bernama Nongkojajar, berada di bawah Gunung Bromo. Di tempat itu, ia bersua dengan jodohnya Suwartini, yang juga merupakan seorang pengajar di desa tersebut. Pasca pernikahan mereka, keturunan mereka tumbuh dan berkembang dalam bidang studi, meraih prestasi setinggi langit.
Setelah memiliki beberapa anak, Firman beserta keluarganya berpindah ke Surabaya. Ia kembali bekerja sebagai guru di sebuah Sekolah Dasar, kemudian naik jabatan menjadi Kepala Sekolah, sebelum pada akhirnya merintis pendirian sekolah sendiri. Akan tetapi, saat itu juga ia memahami bahwa prospek karier dalam bidang pengajaran terbilang sulit.
Dia memilih untuk mendaftar ulang sebagai mahasiswa agar bisa menjadi seorang akuntan kemudian secara bertahap beralih ke sektor bisnis.
Prof Dr Aktieva Tri Tjitrawati, SH, MH; Prof Dr Anggraini Dw S., dr Sp Rad Subsp NKL(K); serta Prof (R) Dr Ir Anita Firmanti, MT (di sebelah kiri) meraih gelar professor atas pengaruh pendidikan dari bapak mereka yaitu Firman Talkah. Gambar: Sumber untuk JPNN
Meski demikian, ada satu hal yang tetap tidak berubah. Menurut Anggraini, bapaknya merupakan figur guru sesungguhnya dalam keluarga. Prinsip-prinsip tentang disiplin, tanggung jawab, serta integritas menjadi fondasi bagi rumah tangga mereka.
“Kami diberikan pendidikan yang cukup keras. Sejak kecil kami telah diajarkan untuk membaca surat kabar dan ditugaskan membersihkan rumah walaupun ada asisten rumah tangga. Kebiasaan memanjakan diri sendiri pun tak pernah dilakukan, misalnya saat aku masih berada di sekolah dasar kelas 3, aku harus berjalan kaki dari rumahku di Kampung Malang menuju Plaza Surabaya,” ungkap Anggraini.
Si kakak, Prof (R) Dr Ir Anita Firmanti, MT, sudah lebih dahulu mencapai puncak karirnya. Ia lolos ujian nasional mulai dari kelas 5 dan langsung diterima di IPB tanpa harus mengikuti seleksi tambahan. Setelah itu, ia bekerja sebagai peneliti di BRIN dan akhirnya terpilih sebagai sekretaris jenderal wanita pertama di Kementerian PUPR.
Anggraini telah dianjurkan oleh sang ayah untuk menjadi dokter sejak usia muda.
“Sejak kecil dikatakan tidak boleh meremehkan diri sendiri. Setelah lulus, langsung berkerja sebagai asisten dosen, kemudian menjabat sebagai dosen Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Saat ini, saya telah menjadi profesor dalam bidang neuroradiologi, sudah 30 tahun mengabdi di Rumah Sakit Umum Dr Soetomo dan kini memasuki enam tahun di Rumah Sakit Universitas Airlangga,” ungkapnya.
Adik mereka, Prof Dr Aktieva Tri Tjitrawati, S.H., M.Hum, kemudian mengikutinya dengan menjadi profesor dalam bidang hukum kesehatan dan lingkungan internasional.
“Kita adalah wanita-wanita yang sangat rasional. Cara berfikirmu mirip dengan kaum adam akibat pendidikan dari sang ayah. Kita disiplin, tegas, namun penuh dengan kasih sayang,” jelas Anggraini.
Hubungan dekat mereka dengan bapaknya tidak hanya berdasarkan pada prinsip-prinsip saja. Eva, yang akrab disapa Aktieva Tri Tjitrawati, menceritakan bahwa di waktu kecil, ketika proses vaksinasi, dirinya dan kedua kakaknya digendong sekaligus menuju klinik.
Hubungan dekat mereka tetap terpelihara sampai usia dewasa, dengan suasana yang begitu alami bagaikan kawan sebaya di antara generasi orangtua dan anak.
“Pada waktu perkuliahan, kita sering kali menelepon ayah yang berada di luar negeri. Kami merasa perlu untuk curhat seperti halnya dengan seorang teman. Jika kami kembali pada malam hari, ayah selalu menantikan kami di sisi gerbang — tanpa marah, hanya diam saja, namun situasi tersebut membuat kami agak tidak nyaman. Itulah metode pendidikannya,” kata Eva.
Firman Talkah sangat menyadari betapa pentingnya menjaga lingkungan. Hidup di Kampung Malang yang berat—dipenuhi dengan perjudian dan alkoholisme—menyebarkannya untuk pindah bersama keluarganya ke daerah Mulyosari, dalam upaya mencapai masa depan yang lebih cerah.
“Bapak tak ingin kita berkembang dalam suasana semacam itu, namun kita pun merasa berterima kasih sebab tinggal di Kampung Malang memperlihatkan kepada kita secara langsung tantangan kehidupan. Kita sangat mengerti bahwa untuk maju setingkat lebih tinggi dalam hierarki sosial adalah sesuatu yang tidak bisa diraih dengan mudah,” jelas Eva.
Saat ini, ketiganya anak perempuan Firman Talkah telah menjelma sebagai ikon kesuksesan akademis, dedikasi yang luar biasa, serta kasih sayang tak terbatas.
“Setelah ayah meninggal, aku memulai studi doktoral pada umur lebih dari lima puluh tahun, seolah-olah menjalankan komitmen itu. Dia meninggalkan kami saat pernikahan orangtuaku mencapai lima dekade. Kamilah yang telah merencanakan pidato untuk hari jadi tersebut, namun takdir memiliki keputusan berbeda,” lanjut Anggraini dengan terharu.
Mereka juga menyusun buku yang akan didistribusikan pada acara pelantikan guru besar. Ini adalah pemberian kecil sebagai tanda terima kasih atas usaha gigih bapak mereka.
Pada Perenungan Hari Kartini, Anggraini menyebutkan bahwa menjadi wanita luar biasa layaknya Kartini mustahil dicapai tanpa adanya sosok bapak hebat yang mendukung dari belakang.
“Bapak kita tidak termasuk kalangan yang berduit, namun beliau memiliki prinsip kuat. Beliau mengajarkan pentingnya integritas tanpa syarat serta pendidikan sebagai sarana meraih peningkatan status sosial,” katanya.
Ungkapan yang senantiasa dikenang serta diturunkan dari bapak mereka ialah ‘tunggak jarak mrajak, tunggak jati semi’, yang berarti bahwa apabila seseorang menekankan atau merawat sesuatu (misalnya seperti pendidikan, kearifan, dsb.), maka hal tersebut akan bertumbuh dan mencapai kesuksesan.
Pesan itu ia berikan pula pada para mahasiswa yang melalui program Bidik Misi. Tidak mungkin menjadi orang sehebat Kartini tanpa adanya figur bapak yang luar biasa di sisinya.
Saya sampaikan hal tersebut kepada para mahasiswa bidik misi saya. Ayah saya menciptakan pemikiran bebas yang mampu mengatasi kemiskinan serta meninggalkan cara berpikir lama, dan segala usaha itu terbayar lunas melalui pencapaian saat ini,” tutup Anggraini.
(mcr12/jpnn)