Skip to content

Legends of The Condor Heroes: Para Pahlawan yang Tangguh. Film Silat dengan Elemen CGI Berlebihan

Akhirnya saya punya tekad untuk membuat sinopsis dari film ini meskipun baru menontonnya pada bulan Maret lalu. Saya sedikit kehilangan jejeran cerita karena waktu yang cukup panjang telah berlalu, dan akibatnya saya harus menyusun ulang alurnya. Lotch Gallant benar-benar berhasil merangsang rasa ingin tahu saya karena dahulu di era 1990-an sempat menonton seri televisinya. Karena itu, saya sangat tertarik untuk melihat bagaimana bentuk filmnya walaupun serinya sendiri hampir tidak bisa terbayangkan lagi dalam pikiran—mungkin hanya tersisa bayangan samar-samar saja.

LoTCH mengisahkan tentang Guo Jing (Xia Zhan), yang berasal dari padang rumput Mongolia menuju Daratan Tengah guna memperdalam pengetahuannya. Selama petualangannya di Tanah Sentral ini, ia berkenalan dengan Huang Rong (Zhuang Dafei) dan akhirnya terpaut hati dengannya. Namun, guru-gurnya memberikan peringatan agar Guo Jing tetap waspada dalam hubungannya dengan Huang Rong lantaran sang gadis merupakan putri Huang Yaoshi, pemilik Pulau Persik yang ternoda nama baiknya. Keempat belas pengajar Guo Jing dikabarkan telah tewas secara tragis pada tangan Huang Yaoshi sendiri, hal tersebut menjadi alasan bagi Guo Jing untuk selalu menjaga jarak dari Huang Rong demi keselamatannya.

Akhirnya Guo Jing pulang ke tanah air asalnya di Mongolia dan bersatu dengan ayah angkatnya, Genghis Khan, dalam serangan terhadap Dinasti Jin sambil meninggalkan Dinasti Song sendirian. Pada waktu yang sama, Huang Rong pun memasuki wilayah Mongolia dan diselamatkan oleh Hua Zheng, seorang wanita Mongol, dari perburuan Ouyang Feng, sang Tokoh Beracun Timur.

Karena belum pernah membaca bukunya dan hanya ingat sedikit tentang seri televisinya dari era ’90-an, ulasan saya akan cukup singkat. Yang pasti, saya sangat menikmati bagaimana penulis mendeskripsikan gurun pasir di Mongolia beserta dialog karakter-karakter pentingnya yang menggunakan bahasa Mongol. Tentu saja, biasanya kita lebih sering melihat film Tiongkok dalam bahasa Mandarin, jadi ada sesuatu yang baru bagi saya ketika menonton ini—percakapan dalam bahasa Mongol. Saya kagum pada kemampuan Xiao Shan untuk mempelajari bahasa tersebut secara komprehensif hingga dapat berbicaranya dengan lancar. Mungkin pendengar asli bahasa Mongol merasa beda atau aneh, sebagaimana rasaku saat dengerin orang luar Jawa mencoba bicara dialek Jawa; kadang masih tampak agak aneh meski sudah usaha maksimal.

Menurut ingatan saya, Hua Zheng, sang Putri Mongol, dulunya cukup memanjakan diri, namun dalam film ini dia digambarkan menjadi seorang wanita tangguh dan dewasa. Saya senang dengan hal tersebut karena menurut pandangan saya, wanita-wanita Mongolia adalah jenis wanita yang kuat—wanita yang tak mudah patah semangat berkat kondisi hidupnya yang sulit seperti yang telah saya saksikan di YouTube, sehingga gambarannya cocok sekali untuk karakternya.

Saya agak tidak puas dengan film petinjuannya ini. Seharusnya lebih banyak adegan bertarung secara fisikal tetapi malahan kelihatan seperti duel ilmu gaib di udara. Istilahnya bagaimana ya? Pokoknya itu mirip, bukannya saling serang dan bereaksi satu sama lain. Adegan perkelahannya baru benar-benar nampak saat Huang Rong melawan Hua Zheng. Selebihnya menggunakan efek komputer penuh untuk pertempurannya. Memandangnya memang menyegarkan mata, namun tampak kosong dari maknanya. Seperti ‘Wow’ sekali pandangan awal, lalu hanya menjadi ‘wow’, kurang membuat penonton ingin mengeksplorasi ragam teknik mereka.

Adegan perkelahannya antara Ouyang Feng dengan tentara Mongol pun kurang memuaskan. Meskipun menyenangkan dipandang, tampak seperti “hah, begitu?”. Dengan sendirinya, ia berhasil membuat kekacauan besar pada barisan tentara Mongol sebelum akhirnya berhadapan dengan Guo Jing. Walaupun dikatakan bahwa Racun Barat merupakan salah satu dari lima pedang paling handal di Tanah Tengah, tetapi harus rasionallah. Bukan berarti dia adalah salah satu petarung utama lantas dapat mengalahkan semua pasukan Mongol sendirian, sebagai jika tentara Mongol tidak memiliki kemampuan apapun. Padahal, sejarah mencatat bagaimana tentara Mongol yang sangat ditakuti telah merebut banyak wilayah di Asia bahkan sampai beberapa daerah di Eropa. Kok fakta historis semacam itu disepelekan cuma untuk efek visual ala film CGI saja?

Menurut pendapatku, penggunaan CGI boleh-boleh saja asalkan tetap menampilkan pertarungan secara estetis dan memukau. Namun, bila CGI dipergunakan terlalu banyak sampai menghilangkan unsur pertarungan bela diri sebenarnya, hal tersebut bisa meredupkan jiwa dari film genre seni bela diri atau petualangan. Karena pada dasarnya, keindahan dalam film semacam ini adalah adanya kontak fisik antara para pemerannya. Ini mungkin menjadi saran penting bagi sutradara dan produser lainnya.

Pada bab pertama (sungguh sulit mencari kata lain), fokus cerita adalah tentang hubungan asmara antara Huang Rong dan Guo Jing). Bagian tersebut juga menceritakan proses pemisahan mereka serta alasan mengenai upaya ekspansi suku Mongol menuju dinasti Jin. Dalam film ini, Genghis Khan (digambarkan oleh aktor Baru Setu) ditampilkan sebagai seorang lelaki dewasa yang bijaksana dengan aura kepemimpinan kuat. Dia tidak tampak seperti seseorang yang selalu haus akan peperangan atau menikmatinya. Kemungkinannya hal itu disebabkan adanya sentuhan budaya Mongolia, menjadikan gambaran Genghis Khan sedikit dimodifikasi supaya terkesan lebih manusiawi. Walau demikian, pada akhirnya ia tetap memiliki unsur tipuan ketika dia menggunakan ibu Guo Jing untuk mendapatkan pengaruh atas Guo Jing sendiri. Aksi nekat sang Ibu kemudian dilakukan demi menyederhanakan petualangan putranya meninggalkan tanah Mongolia.

Figur tak terduga itu ternyata Tommy Leung yang mendapat peran sebagai Ouyang Fei sang Racun Barat. Sungguh, saya sama sekali tidak menyadarinya kalau ia adalah Tony Leung. Puji bagi tim rias yang berhasil mentransformasi penampilannya sehingga tampak sangat berbeda dari biasanya, menjadikannya sosok Racun Barat yang menyeramkan dan membahayakan. Anehnya, saat dia bicara, ada semburat aura mistis di suaranya. Ekspresi wajah serta tatapan matanya sungguh membuat bulu kuduk berdiri. Menurut ingatan saya, meski sudah melihat beberapa adegan Ouyang Feng versi lawas, belum ada satu pun yang bisa memberikan kesan kejahatan begitu menakutkan seperti yang ditampilkan oleh Tony Leung dalam versi ini.

Karena film ini disutradarai oleh Tsui Hark, saya memiliki harapan tinggi untuknya. Terlebih lagi dia telah berhasil meramu Once Upon Time Wong Fei Hung dengan baik. Mungkin saja hal tersebut dikarenakan periode waktu antara Wong Fei Hung berada pada masa puncak Dinasti Qing sedangkan LotC berkisah jauh sebelum itu sehingga elemen-elemen fiksi seperti terbang atau kemampuan mengurangi bobot badan serta energi internal dapat digunakan secara efektif. Jika setting modern dimainkan demikian hanya akan tampak kurang masuk akal. Namun sesuai paragraf sebelumnya, ternyata duel khas seni bela diri China sangat jarang ditampilkan dalam film ini; lebih cenderung menggunakan animasi komputer demi menciptakan suasana dramatis.

Karena film ini didasarkan pada novel dengan panjang ekstensif (total 40 bab), mustahil untuk merangkum seluruh isi buku tersebut ke dalam sebuah film meskipun durasinya lebih dari dua jam. Saya tidak menemukan adegan tentang orang tua Yang Guo ataupun Mei Chao Feng, serta pertempuran antara aliran pengemis utara dan racun barat pun tak terlihat. Banyak karakter yang saya ingat hadir dalam versi seri aslinya namun absen dalam film ini; hal itu baik-baik saja karena tentu sulit memuat keseluruhan cerita begitu saja ke dalam satu film. Namun demikian, saya tetap dapat mengerti jalannya cerita dalam film ini.


Lagunya begitu cepat mengekspresikan suasana masa kanak-kanak (saya tak pernah memahami rasa hati, getaran dalam jiwa, apa itu cinta…). Lirik tersebut cocok sekali jika dinyanyikan dalam bahasa Indonesia, hehe. Meski demikian, Tsui Hark tetap menggunakan lagu dari seri aslinya meskipun sudah direvisi menjadi versi yang lebih modern. Saya senang karena lagunya membuat saya merasa lebih bersemangat dan enerjik. Lagu ini mungkin telah disesuaikan dengan jumlah adegan pertempuran serta peperangan antara kedua kerajaan sehingga terdengar lebih powerful. Kostum baju mereka juga bagus, seragam tentara tampak rumit namun sepertinya memang seharusnya seperti itu. Seolah Tsui Hark juga fokus pada detil-detail kecil.

Huang Rong dalam film ini agak kurang ditonjolkan karakteristiknya sebagai wanita pintar dan sly. Di sini ia malahan digambarkan lebih dewasa. Yang paling mengejutkan adalah saat melihat dia berkelahi dengan Hua Zheng menggunakan tongkat penumbuk anjing. Tongkatnya bukanlah tongkat panjang warna hijau, melainkan tongkat yang dapat dipanjang-pendingin sesuai kebutuhan. Revisionsnya cukup baik, harapan saya hanyalah agar tidak mendapat kritik dari penggemar novel aslinya.

Meskipun ada beberapa catatan, saya membacanya bahwa film ini berhasil jadi yang terlaris dalam genre pertarungan seni bela diri. Selain itu, peringkat kedua dan ketiga pun diciptakan oleh Tsui Hark loh, yakni “Once Upon a Time” dan “Swordman”. Oleh karena itu, menurutku film ini cukup pantas buat kamu tonton sebagai hiburan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *