Skip to content

Kenali Jenis Kebohongan Ini, Apakah Teman Anda Terlibat?

Saya memiliki seorang teman. Saat ia bicara, suasananya enteng layaknya dedaunan kering tersapu angin. Sangat mudah baginya untuk menceritakan sesuatu tetapi sangat sulit bagi dia memegang teguh kebenaran. Dia tidak hanya pandai bersenandungan—dia adalah pelaku imajinasi jalanan. Jika terlambat hadir, alasannya selalu penuh petualangan: baru saja membantu seekor kucing yang hampir ditabrak mobil, diperbolehkan oleh guru mengaji minta pertolongan, ataupun dibohongi pasangan seseorang. Semakin lama semakin membuatku bertanya-tanya; apakah ini cuma lelucon belaka atau ada hal lain di balik niatnya untuk tampak dramatis?

Pengalaman ini menyebabkan saya berpikir: Bisakah dibayangkan jika membual, menciptakan alasan sembarangan, atau malah mempercayai omong kosong yang diciptakan sendiri hanyalah suatu kebiasaan negatif, ataukah hal tersebut memiliki nama tertentu dalam bidang psikologi?

Jawabannya: Ada. Namun, hal itu melampaui sekedar “berkata bohong.” Ini jadi lebih rumit.

Ayo kita tinjau beberapa diagnosa atau istilah dalam psikologi yang mungkin dapat menggambarkan tingkah laku tersebut. Namun sebelumnya, perlu diingat: jangan dengan mudah menyebut temanmu memiliki masalah kesehatan jiwa cuma gara-gara dia suka berbohong. Psikologi bukanlah tempat untuk spekulasi sembarangan, namun hal ini tetap bisa menjadi cerminan bermanfaat tentang interaksi sosial.

1. Pseudologia Fantastica: Bohong Sebagai Seni

Ini adalah istilah umum bagi “orang yang suka berbohong secara patologis”. Bukan hanya perilaku biasa, tetapi mereka memiliki dorongan konstan untuk membuat cerita fiktif, kadang-kadang bahkan sangat dramatis, supaya tampak lebih signifikan atau luar biasa. Seseorang dengan sifat demikian dapat mengatakan telah menjadi sukarelawan dalam sebuah bencana meskipun sebenarnya belum pernah meninggalkan kota tempat tinggalnya.

Menakutkan? Terkadang dia bahkan menyadari bahwa dia sedang berbohong, namun dorongan untuk terus menggubah kenyataan menjadi lebih kuat daripada perasaan bersalahnya. Di beberapa situasi, hal ini dapat dikaitkan dengan adanya gangguan kepribadian narsistis atau histeris.

2. Confabulasi: Saat Kenangan Berbohong

Bedasarkan pada pembohong umum, individu yang mengalami confabulation cenderung tak menyadari kalau mereka tengah memutarbalikkan kenyataan. Otak mereka secara nyata melengkapi kekosongan kenangan dengan cerita-cerita khayalan. Fenomena ini sering kali timbul di dalam kondisi masalah neurologi semacam amnesia atau demensia. Maka itu, bukan berarti dia seseorang yang suka bohong—melainkan memori aslinya bermasalah serta otaknya mencoba merakit ulang cerita menjadi satu kesatuan yang utuh.

Permasalahan utamanya adalah bahwa dalam masyarakat kita, belum terdapat ruang yang cukup untuk mengenali perbedaan antara “kebohongan sengaja” dan “kesalahan neuropsikologis”. Sebagai akibatnya, semua orang dituduh sebagai penyebar kebohongan.

3. Rasioanalisis: Kebohongan Ber sistem

Ini terdengar lebih lembut. Bukanlah sebuah karya sastra besar, tetapi alasan-alasan kecil yang diciptakan untuk mengampuni kesalahan atau malasnya seseorang. Seseorang mungkin datang terlambat dan berkata, “Saya macet di jalanan walaupun telah berangkat sejak pukul enam pagi.” Rasionalisasi merupakan salah satu cara defensif kita sebagai manusia. Semua orang pasti pernah melakukan ini, namun jika menjadi suatu kebiasaan, itu bisa membawa pada ilusi tentang diri sendiri.

4. Mythomania: Ketagihan Bohong

Ini adalah tingkat lebih jauh dari pseudologia fantastica: kebohongannya tidak lagi bertujuan untuk perlindungan diri atau penampilan yang menawan, melainkan disebabkan oleh adanya rasa senang secara psikologis saat membuat narasi. Seperti halnya seseorang dengan kebiasaan perjudian atau minum keras, individu ini memiliki ketergantungan pada pembentukan realitas ganda.

Apakah setiap kesalahan dalam memberitahu merupakan tanda dari suatu masalah? Atau justru kita kurang berusaha untuk mengerti kerumitan sifat manusia?

Bohong Itu Sosial

Terkadang kita melupakan bahwa kebohongan tak bisa bertahan tanpa dukungan. Kebohongan berkembang di lingkaran sosial yang mendukungnya. Kelompok masyarakat yang sangat mengejar citra, prestige, atau kisah pahlawan cenderung menciptakan individu yang merasa harus tampil sempurna. Dengan demikian, kebohongan sudah menjadi bagian dari penyesuaian diri, bukan hanya suatu masalah.

Dan apa yang lebih menyedihkannya? Kitalah yang menolerir kebohongaan di tingkat besar (seperti korupsi, janji kampanye yang tidak benar, atau pemutusan informasi), namun kita hukuman atas kebohongan-kebohongan kecil dalam obrolan sehari-hari.

Apakah Ada Hal yang Dapat Kami Lakukan?

Pertama, sadarilah bahwa tingkah laku tersebut memiliki berbagai gradasi. Mulai dari yang cukup defensif hingga ke titik yang lebih parah secara psikologis. Hindari terburu-buru memberikan label seperti “gila” atau “pembohong”.

Kedua, refleksi. Apakah kita pun pernah melakukan pembenaran diri? Sudahkah kita sesekali berpura-pura agar tampak lebih keren? Bisa jadi perbedaannya hanyalah pada tingkat kekerapan dan motivasinya.

Ketiga, pendidikan. Waktunya bagi masyarakat kita untuk mengenal terminologi dalam bidang psikologi seperti pseudologia fantastica, mythomania, atau mekanisme pertahanan bernama rasionalisasi sebagaimana dikemas dalam konsep literasi emosi. Hal ini tidak hanya berupa diskusi akademik belaka, melainkan juga menjadi sarana untuk lebih memahami diri sendiri serta orang di sekitar kita.

Penutup yang Tidak Mengada-ada

Temanku yang gemar menulis cerpen pada akhirnya aku temui: tidak dengan amarah, tetapi dengan pertanyaan. “Mengapa kau perlu menceritakan hal tersebut? Sebenarnya apa yang engkau khawatirkan?”

Jawabannya? “Saya khawatir dianggap tidak berarti.”

Dan dari sana aku mengerti: boleh jadi dusta bukan masalah etika, tetapi lebih kepada ketakutan. Ketakutan tidak diterima, ketakutan tidak dikasihi, dan ketakutan tidak dipandang. Oleh karena itu, sebelum kita menjelek-jelekan para pendusta, marilah kita bertanya: siapakah orang yang telah menyebabkannya merasa perlu untuk berpura-pura?

Kadang, masyarakat lah yang pertama kali mengajarkan kebohongan—dengan memuja gimmick dan pencitraan.

Dan barangkali, itulah penyakit kolektif kita yang sesungguhnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *