Skip to content

Kartini Bukan Hanya Tentang Wanita, Tapi Juga Menyinggung Pejabat Pribumi yang Cinta Menerima Gratifikasi


Beberapa topik yang dibahas oleh Kartini dalam surat-suratnya mencakup lebih dari sekedar wanita dan pendidikan. Ia juga berbicara tentang perilaku para pejabat pribumi.

AsahKreasi hadir di kanal WhatsApp Anda, ikuti dan dapatkan informasi terkini kami disini.


AsahKreasiOnline.com –

Kartini sebenarnya menyinggung berbagai topik dalam surat-suratnya ke teman-temannya di Belanda. Selain urusan wanita dan pendidikan, ia juga mengomentari tentang fotografi, budaya pantai, serta perilaku para petinggi lokal yang suka menerima hadiah.

Hal itu dapat ditemukan dalam surat Kartini kepada Stella, teman karannya di Belanda yang ia jumpai melalui sebuah majalah Belanda, dengan tanggal 12 Januari 1900.

Begini bunyi suratnya:


[…]


Pada tahun lalu, sebuah desa nelayan terendam banjir selama tujuh hari berturut-turut. Malam dan siang, sang ayah tetap berdiam di lokasi bencana tersebut. Menggunakan dana privat yang pada akhirnya diganti oleh pihak pemerintah, sebagian dari bendungan yang retak puluhan kilometer itu berhasil direnovasi. Namun, bagaimana mungkin memulihkan segala kerugian yang ditimbulkan oleh genangan air? Hanya tersisa 15 saja dari total 100.000 hektar tambak ikan. Setelah beberapa bulan, para ahli bidang perairan memberi tahu sang ayah bahwa banjir ini dipicu oleh kelalaian mereka sendiri dalam pengelolaan aliran sungai.


Pemerintah sangat memperhatikan kesejahteraan warga Jawa, namun mereka masih mengalami kesengsaraan akibat beban pajak yang tinggi.


Secara formal, warga negara sudah tidak diperlakukan secara paksa oleh para pemimpin mereka. Jika pernah terjadi satu kali pun situasi seperti itu, pihak yang bertanggung jawab pasti akan mendapatkan hukuman berupa pemecatan ataupun penurunan jabatan. Akan tetapi, masih banyak dan menjamurnya praktik menerima suap, yang menurut pandangan saya setidaknya sama buruknya dengan mengambil sesuatu dari penduduk biasa sebagaimana digambarkan dalam buku “Max Havelaar”.


Tetapi saya tidak bisa serta-merta menuduh tanpa bukti. Harusnya saya juga mempertimbangkan situasi yang mendorong mereka bertindak seperti itu.


Pertama-tama, penduduk asli melihat memberikan hadiah kepada atasannya sebagai ungkapan penghormatan. PNS menerima hadiah tersebut, namun upah para pemimpin ini sangat kecil sehingga hampir seperti sebuah kesaktian jika mereka dapat bertahan hidup hanya dengan uang itu.


Sebuah contoh adalah seorang penulis administrasi negara yang setiap hari sibuk menulis, namun upahnya hanya F 25. Dengan jumlah tersebut, mereka harus mencukupi kebutuhan keluarganya, membayar biaya tempat tinggal, membeli pakaian yang pantas, dan tampil sesuai standar untuk menjaga marwah diri. (Harap jangan terlalu cepat menghakimi hal terakhir ini ya. Mari kita kasih belasungkawa pada para remaja besar itu, karena masih banyak teman-temanku dari negeri yang sama dalam situasi seperti ini).


Jika seseorang dari desa memberikan satu tandan pisang atau sesuatu serupa kepada penulis ini, dia akan menolakkannya. Pada kali kedua, dia masih menolak, namun pada kesempatan ketiganya sikapnya mulai goyah. Sedangkan di percobaan keempat, dia akhirnya mau menerimanya. Dia berpikir bahwa apa yang dilakukannya bukanlah hal yang buruk. Ia belum meminta apapun; justru dirinya yang diberi. Mengingkari pemberian yang dapat dimanfaatkannya adalah tindakan konyol baginya.


Memberikan hadiah tak sekadar untuk menyampaikan penghargaan, melainkan juga sebagai antisipasi terhadap potensi masalah yang mungkin dihadapi si pemberi dari atasan di masa depan. Apabila sewaktu-waktu dia tertangkap oleh Wedono disebabkan hal apapun, dia masih berharap mendapatkan dukungan dari sang penulis.


Gaji pegawai negeri cukup rendah. Asisten Wedono kelas II hanya dibayar sebesar F85. Dengan jumlah tersebut, dia harus menanggung biaya upacara seperti menyewa penulis resmi, kendaraan berkelompok beserta kudanya, serta memenuhi kebutuhan lainnya seperti pembelian rumah, furnitur, dan pembiayaan kehidupan keluarga. Di luar itu semua, dia juga bertugas memberikan jamuan kepada inspektur, bupati, bahkan kadang-kadang Residen Assistent ketika mereka berkunjung di wilayah kerjanya. Jika tempat tinggal asisten Wedono letaknya agak jauh dari pusat kota, maka dia biasanya akan menyediakan akomodasi di sebuah pondok tamu, termasuk pula penyediaan hidangan makanan untuk para pejabat penting tadi. Dia pun dituntut untuk memiliki cerutu, minuman impor, alcohol, dan berbagai produk kaleng. Percayalah bahwa hal-hal semacam ini bisa menjadi beban besar bagi posisi sebagai Kepala Asisten Wedono.


Kamu pun dapat memahami bahwa dia tak akan menyiapkan hidangan sembarangan untuk para tamunya yang penting. Dia akan mendapatkan bahan-bahan dari kota tersebut. Tetapi untungnya jika sang bapa melakukan kunjungan panjang dan tinggal lebih lama, dia selalu membawa bekal pribadi. Begitu pula dengan kontroler dan asisten residen lainnya. Cawan teh yang disediakan oleh kepala daerah saat perjalanan ini, tentu saja bukanlah sesuatu yang merogoh kocek mereka terlalu dalam.


Jika terdapat tindak pidana di wilayahnya, seorang kepala daerah dituntut untuk menyelesaikan masalah tersebut. Itu adalah tanggung jawabnya. Untuk menyelidiki kasus ini, dia kerap kali harus merogoh kocek sendiri. Banyak terjadi bahwa para pemimpin lokal harus menjual perhiasan milik istri atau anak-anak mereka demi mendapatkan dana yang dibutuhkan untuk investigasi. Namun, tentunya kamu berkomentar bahwa nanti pemerintah akan membayar balik dana tersebut.


Salah. Beberapa petugas pemadam kebakaran telah jatuh miskin akibat situasi tersebut. Lantas apa solusi untuk pejabat negara dengan pendapatan pas-pasan dan tanpa dukungan ekonomi dari keluarga atau orang tua? Mereka melihat istri dan anak mereka berpakaian sederhana meskipun warganegara memberikan bingkisan. Janganlah bersikap terlalu tegas pada Stella.


Stella, aku pernah bertemu dengan seorang residen yang menggunakan bahasa Melayu ketika berbicara dengan seorang bupati meskipun dia menyadari bahwa sang bupati fasih berbahasa Belanda. Selain itu, semua orang lain biasanya menggunakkan bahasa Belanda saat menemui pimpinan lokal tersebut kecuali si asisten residen itu.


Kepada saudara-saudara pria yang berasal dari suku Jawa, ketika Anda bersama atasan Anda, gunakanlah bahasa Jawa. Namun jika mereka membalas dalam Bahasa Belanda atau Melayu, itu wajar-wajar saja. Di antara kalian ada yang telah menjadi teman baik bagi keluarga kita dan beberapa orang tersebut menyarankan agar hanya menggunakan bahasa Belanda saat berbicara dengan kakak-kakak saya. Meski demikian, kakak-kakak saya serta ayah kami enggan menerima hal ini karena merasa bahwa penggunaan prestise secara berlebihan adalah sesuatu yang kurang tepat. Terlalu sering ditemui para pegawai negeri yang selalu ingin tampak lebih mulia daripada manusia biasanya demi meningkatkan status sosial mereka sendiri.


Saya tak ambil pusing kalau mereka mencemooh kita. Malahan, saya ketiban tawa menyaksikan bagaimana mereka berusaha menunjukkan kesetaraan kepada kami, warga Jawa. Melalui sejumlah pejabat BB yang bersahabat denganku, aku mendiskusikan masalah ini. Pendapatku entah dibantah atau disetujui; meski demikian, percayakah bahwa di lubuk hatinya mereka setuju dengan pendirianku. Semua ini pun masih tentang harga diri.


Kini kita dapat memahami alasan mengapa saya tak mampu menyembunyikan senyum saat situasi demikian. Tertawalah melihat bagaimana para pangeran tersebut mencoba tampil gagah dan otoriter kepada kami. Saya pun harus gigit ujung bibir agar tidak meledak dalam tawa lepas saat baru-baru ini saksi mata sebuah adegan; seorang residennya bergerak di bawah naungan payung yang ditopang oleh sang penjaga istana dengan anggunnya. Saat itu saya tengah melakukan perjalanan. Sungguh suatu penglihatan yang sangat menggelitik.


Oh, dewa, katakanlah mereka yang mundur dari payung gemerlap itu bakal mencemooh Anda dari belakang, begitu pikiran saya. Apakah kamu setuju tentang betapa banyak pegawai yang biarin para pemimpin lokal cium kaki dan telunjukkannya? Menyentuh kaki adalah bentuk hormat tertinggi yang cuma dikasih orang Jawa ke pada orangtua, keluarga senior, serta tokoh-tokohnya sendiri. Kita tak senonoh melakukan hal tersebut pada orang luar negeri. Bahkan jika paksa, pasti tetep dilakuin dengan sangat engganan.


Orang Eropa hanya akan menjadi objek ketertawaan bagi kita jika mereka meminta kehormatan yang seharusnya hanya diberikan kepada para pemimpin kita sendiri.


Residen dan asistennya menginginkan untuk disebut sebagai ‘Kanjeng’ adalah hal yang wajar, namun jika nantinya pekerja seperti mandor perkebunan atau petugas timbang jembatan serta kemungkinan besar pemimpin stasiun lainnya ingin di panggil begitu pula oleh bawahan-bawahannya, itu benar-benar bisa menjadi lelucon. Apakah mereka tahu makna dari kata tersebut? Saya pikir cuma orang Jawa yang kurang cerdas saja yang senang akan penghormatan semacam ini, tapi anehnya para pelaku ilmu pengetahuan barat bahkan tak segan-segan menyetujui bentuk hormat serupa, bahkan ada yang merindukan hal tersebut.

Tentu saja, Kartini turut mengupas tentang asal-usulnya yang berasal dari keluarga bangsawan Jawa. Namun demikian, seperti yang terdapat di dalam suratnya kepada Stella pada tanggal 18 Agustus 1899, ia merespons hal ini dengan cara berikut:


Bukankah kamu akan merasa kecewa setelah mengenal aku lebih jauh? Aku sudah bilang, aku tak paham tentang itu semua. Tanpamu aku hanyalah seorang yang tanpa nilai. Memang benar kamu sangat mengetahui tentang gelar-gelar Jawa tersebut.


Sebelum kamu menuliskannya, aku tak pernah membayangkan hal tersebut. Kamu mengatakan bahwa aku berasal dari keturunan yang mulia. Apakah artinya aku seorang ‘princes’, atau putri? Tentu saja tidak demikian. Yang terakhir dalam garis keturunanku dari sang leluhur laki-laki adalah lebih kurang 25 generasi silam. Ibuku tetap memiliki ikatan erat dengan keluarga kerajaan di Madura. Sang kakek buyutku merupakan seorang raja yang masih berkuasa sementara nenekku dikenal sebagai ‘Putri Mahkota’ (erf-vorstin).


Meskipun demikian, saya benar-benar tak ambil pusing soal itu. Menurutku terdapat dua jenis bangsawan saja: bangsawan bermartabat dan berkarakter luhur. Saya rasa tidak ada yang lucu selain seseorang yang bersorak-sorai karena asal-usul keluarganya yang gemerlap. Ada apa sih jadi seorang baron atau graef? Hal tersebut di luar pemahaman otak kecil saya ini.


[…]


Agama ditujukkan sebagai karunia bagi kebaikan umat manusia, bertindak sebagai jembatan persaudaraan di antara seluruh ciptaanTuhan. Kami semuanya adalah saudara dan saudari. Tidak dikarenakan oleh kedua belah darah daging kami yang sama, melainkan sebab kami semua merupakan anak-anak dari Bapa Sorgawa itu.


Ya Allah. Terkadang saya merenung, betapa indah rasanya jika tak pernah ada agama. Sebab hal yang seharusnya mempersatukan umat manusia melintasi zaman justru menjadi asal muasal konflik, perselisihan, bahkan pembantaian yang begitu kejam. Manusia dari darah keturunan yang sama pun berseteru hanya gara-gara cara masing-masing dalam ibadah kepada-Mu, meski pada akhirnya kita semua menyanctigi Tuhan yang sama. Cinta kasihilai membuat dua insan dekat dapat dipisahkan oleh kesedihan. Beda persekutuan gereja, tempat di mana Tuhan disembah tetap saja menjadi penghalang bagi jiwa-jiwa yang sesungguhnya mencintai satu sama lain.


Apakah agama sungguh suatu karunia untuk manusia, saya kerap kali merenungkan hal ini. Seharusnya agama menjaga kita dari pelanggaran, namun tak sedikit kesalahan justru terjadi demi-Nya.


Sejarah pendek Karitni, mulai diasuh sejak berusia 12 tahun, tidak berhasil menyelesaikan studi di Belanda, dan akhirnya menjadi istri ke-keempat Bupati Rembang.

Walaupun diasuh sejak berusia 12 tahun, ternyata hal tersebut tidak menjadikan Kartini suram. Malahan di saat-saat tersebut kepiawaiannya justru semakin mencolok.

Kartini dilahirkan di Jepara tanggal 21 April 1879. Sang bapak menjabat sebagai Bupati Rembang. Berkat posisi terhormat sang ayah, Kartini dapat mengenyam pendidikan di institusi ternama seperti Europese Lagere School (ELS).

Kartini berhasil menyelesaikan pendidikannya pada tahun 1892. Namun sesudah itu, ia harus menjalani masa pingitan ketika berusia 12 tahun. Selama periode tersebut, dia terisolasi di dalam rumah dan tidak diperbolehkan keluar dari kompleks tempat tinggalnya yang luas.

Sebaliknya dari meninggalkan rumah, Kartini malahan hampir tidak pernah menapakkan kaki di serambi rumah. Dalam waktu empat tahun terkurung dalam masa sunyi itu, Kartini cuma keluar lima kali dan semuanya berada di area kabupaten Jepara.

Saat kakaknya, RA Soelastri, melangsungkan pernikahan dengan Raden Ngabehi Tjokroadisosro dan kemudian memindahkan tempat tinggal mereka ke Kendal, Kartini terpilih sebagai anak sulung yang bertanggung jawab atas seluruh hal-hal berkaitan dengan adik-adiknya tersebut di kabupaten itu.

Kartini pun memindahkan diri ke kamar saudara perempuannya, Soelastri, yang jauh lebih luas daripada kamarnya sendiri. Kemudian dia mengundang kedua adiknya, Roekmini dan Kardinah, untuk bersama-sama menyewa satu ruangan tersebut.

Ketika berkumpul, ketiganya menyebutkan minat mereka yang beragam mulai dari menggambar, memainkan piano sampai kemampuan kerja tangan. Selanjutnya, Kartini pun meneruskan kebiasaannya dalam membaca kepada kedua saudaranya itu.

Mereka membaca surat kabar

De Locomatief

sampai mengetahui kemajuan yang berlangsung di Hindia Belanda maupun Eropa. Tahun 1896, sang bapak membawa Kartini serta saudara-saudaranya dalam suatu perjalanan dinas menuju Kedungpenjalin guna menghadiri upacara penobatan pendeta.

Dia mengabarkan cerita itu lewat surat kepada Stella. “Alhamdulillah! Alhamdulillah! Akhirnya saya bisa keluar dari penjara ini menjadi seorang yang merdeka,” tertulis Kartini dalam suratnya.

Setelah pembatasan kunjungan dicabut, Kartini dan kedua adiknya diizinkan untuk berkunjung ke rumah Nyonya Ovink Sore dengan teratur. Nyonya Ovinck pun kerap mengundang ketiganya ikut serta dalam acara keluarga orang Belanda.

Itu diamati dengan cermat oleh bapak mereka. Akhirnya, pada tanggal 2 Mei 1898, ketiganya itu tidak lagi dibebani pembatasan. Kemerdekaan ketiganya ini diwujudkan saat mereka turut serta dalam kunjungan Bupati Sosroningrat ke Semarang untuk merayakan pengukuhan Ratu Wilhelmina.

Kartini menyampaikan kegembiraannya itu kepada Stella dalam sebuah surat: “Kamilah yang diizinkan untuk meninggalkan kotanya dan turut berangkat menuju pusat pemerintahan merayakan penghargaan bagi Sri Ratu. Ini adalah lagi satu kemenangan luar biasa yang sungguh-sungguh harus kita apresiasi.”

Setelah itu, Kartini bersama saudaranya mengunjungi beberapa kampung dan melakukan dialog langsung dengan penduduk setempat. Salah satu masalah yang berhasil dituntaskan oleh Kartini adalah kesulitan ekonomi yang dialami sejumlah pembuat ukiran di Desa Belakanggunung.

Karyaan para pembuat pernak-pernik dinilai terlalu rendah dan tidak sesuai dengan usaha keras yang sudah dilakukannya. Setelah mendengarnya, Kartini segera menyambangi pihak Belanda di Semarang serta Batavia guna mengekspos lebih lanjut tentang kesenian ukiran Jepara tersebut.

Kartini memerintahkan pada para pembuatukir dari Belakanggunung agar menciptakan beragam perabot rumah tangga dan kerajinan tangan yang nantinya akan diekspor ke Semarang, Batavia, hingga Belanda. Karena nilai jual hasil karya mereka cukup tinggi, kondisi finansial para pengrajin pun mengalami peningkatan.

Sama seperti itu, Kartini juga sukses mengangkat derajat para pembuat emas dan penenun di Jepara.

Kemungkinan Kartini untuk menerima pendidikan menjadi lebih luas ketika Pemerintah Belanda merilis kebijakan kolonial baru di bulan September tahun 1901. Ia turut serta dengan bapaknya dalam kunjungan ke Istana Buitenzorg (sekarang Bogor), atas undangan dari Gubernur Jenderal Roosebom.

Kartini mengambil kesempatan ini untuk berjumpa dengan Nyonya Rooseboom guna memohon dukungan dalam hal beasiswa sehingga dapat meneruskan studinya di Belanda. Namun, upayanya tersebut tak berhasil karena ia tidak bertemu langsung dengan Nyonya Rooseboom, tetapi justru hanya sempat berdialog dengan ayudan Gubernur Jenderal beserta pasangan De Booy.

Rencana perjalanannya menuju Batavia memberikan sedikit cahaya harapan kepada Kartini, terutama karena J.H. Abendschanon dengan senang hati menawarkan bantuan jika Kartini berkeinginan untuk mengikuti pendidikan di sebuah sekolah kedokteran. Namun demikian, sang ayah tidak setuju dengan ide tersebut.

Kartini mengisahkan hal itu kepada Nyonya Ovink Soer.

Bila kita saat ini tak kunjung pergi ke negara Belanda, bisakah saya pergi ke Betawi guna menimba ilmu kedokteran? Ingatlah, Anda berasal dari Jawa dan kini hal tersebut masih mustahil. Akan tetapi dalam dua puluh tahun mendatang situasinya berbeda, namun pada masa kini belum memungkinkan. Saya kemudian bertanya apakah saya dapat menjadi guru nantinya. Ayah menjawab bahwa ide itu hebat, sangat bagus! Dan tentunya Anda diperbolehkan melakukannya.

Bupati Sosroningrat melarang Kartini mendaftar di sekolah kedokteran karena seluruh siswa di sana adalah laki-laki. Dengan demikian, jika dia ikut bergabung bisa menciptakan beberapa kendala.

Pada akhirnya, ia memberi izin kepada Kartini untuk mengejar pendidikan sebagai guru seperti yang sudah diinginkan sejak kecil. Alasan tambahan dari pengizinan itu adalah karena ada kabar bahwa putrinya dipertimbangkan menjadi direktur di sebuah sekolah boarding yang sedang dirancang oleh pemerintah.

Kartini sempat berharap bisa melanjutkan studi sebagai guru, namun harapannya pupus ketika kebanyakan bupati enggan menerima surat edaran dari Direktur Pendidikan J.H. Abendanon. Alasannya adalah karena tata kelola kerajaan yang melarang pendidikan putri dilakukan di luar daerahnya sendiri.

Kartini yang awalnya menerima dengan senang hati tentang sekolah itu akhirnya merasa kecewa dan mengekspresikannya melalui sebuah surat kepada Stella.

Semoga perjalanan menuju mimpi dan masa depan gemilang berjalan lancar! Benar-benar terdengar seperti halangan yang mustahil diwujudkan.

J.H. Abendanon menyadari rasa kecewanya Kartini, oleh karenanya dia berupaya sungguh-sunguh untuk memastikan bahwa Kartini dapat meneruskan studinya. Oleh sebab itu pada tanggal 19 Maret 1901, beliau mengirimkan sebuah surat resmi kepada Gubernur Jenderal.

Isian dari saran ini adalah pengiriman seorang guru perempuan dengan gelar Akta Kepala Sekolah (Hoofdakte) ke Jepara guna melaksanakan tugasnya sebagai pengajar di ELS. Selain itu, dia juga diberikan tanggung jawab ekstra yaitu mendidik anak-anak putri Bupati Sosroningrat pada waktu setelah jam pelajaran sekolah, hal ini dilakukan agar mereka dapat mempersiapkan diri untuk ujian menjadi guru.

Bupati Sosroningrat menyampaikan balasan berupa surat kepada pemerintah di mana dalamnya terdapat kabar mengejutkan bahwa ia telah mengambil keputusan untuk mencabut permintaan dukungan finansial dari pihak pemerintahan tersebut.

Kartini merasa sangat letih dengan keputusan itu, rasa frustasi yang terus-menerus membuatnya jatuh sakit parah sehingga menghancurkan motivasinya dalam mencapai impiannya.

Kartini menulis:

Cara saya jadi sangat malas dan tiada hasrat untuk melakukan apa pun, sebenarnya sulit dipahami. Yang bisa kusadari hanyalah perasaanku yang terbilang tidak baik.

Upaya Kartini dalam mencapai pendidikan yang lebih baik sering menjadi topik pembicaraan bagi masyarakat Belanda. Van Kol, seorang anggota parlemen dari Belanda, berusaha menyediakan beasiswa untuk Kartini ketika dia tiba di Jepara pada tanggal 20 April 1902.

Van Kol sangat terkesan dengan gagasan serta usaha Kartini mengenai kesetaraan hak antara pria dan wanita yang dapat diraih lewat proses belajar mengajar. Kabarnya, pertemuan Van Kol dengan famili Bupati Sosroningrat pun dimuat dalam media cetak tersebut.

De Locomotief

.

Namun, terdapat berbagai upaya untuk mencegah kepergian Kartini ke Belanda, termasuk oleh sejumlah tokoh priyayi lokal maupun warga negara Belanda. Salah satunya adalah Nyonya Abendanon yang berhasil meyakinkan Kartini agar menarik kembali beasiswanya.

Di bulan Mei tahun 1902, ia menulis surat kepada Kartini dan memintanya untuk mencabut niat belajar di Belanda agar para siswi Kartini tetap terikat dengan warisan budaya Jawa. Namun, hal ini tak membuat Kartini berubah pikiran.

Sampai ke J.H Abendanon, seorang pejabat senior dari Belanda yang tiba di Jepara pada tanggal 24 Januari 1903 untuk bertemu dengan Kartini. Ia kemudian mengundang Kartini berdiskusi di Pantai Klien Scheveningen (Bandungan).

J.H. Abendanon mendorong Kartini merombak rencananya untuk menimba ilmu di Belanda menjadi di Batavia, sebab ia yakin dia akan mendapatkan berbagai manfaat daripada pilihan tersebut. Diskusi yang dilakukan oleh J.H. Abendanon dengan Kartini ternyata memiliki dampak tak terduga; Kartini kemudian memutuskan untuk mencabut niatnya untuk melanjutkan pendidikan di Belanda.

Pilihan yang amat ganjil dan membingungkan, mengingat Kartini telah lama merindukan peluang tersebut. Di dalam episternya terhadap cucu famili Abendanon pada tanggal dua puluh tujuh Januari seribu sembilan ratus tiga, Kartini menyatakan:

Diskusi yang kami lakukan di tepian laut berakhir dengan suatu keputusan, yaitu kita akan segera mengajukan permintaan kepada Gubernur Jenderal beserta izin dari kedua belah pihak, sehingga kami dapat dipertimbangkan oleh otoritas setempat untuk melanjutkan studi di… Betawi!

Surat itu pun mengungkap alasan-alasan di balik pembatalan rencana Kartini pergi ke Belanda. Ia merisaukan bahwa jika dirinya menetap di sana selama periode tertentu, masyarakat akan melupakan eksistensinya, meskipun tujuannya adalah untuk meningkatkan derajat serta martabat mereka.

Kartini cemas tentang keadaan kesehatan bapaknya yang telah lanjut usia dan dapat terkena penyakit serius kapan saja, sehingga membutuhkan penanganan medis. Meskipun studi di Belanda akan mengambil banyak waktu, namun apabila ia belajar di Batavia, dia bisa langsung menerapkan apa yang dipelajari.

Perjanjian Mr. Abendanon yang menyatakan akan memberi izin kepada Kartini untuk mendirikan sebuah sekolah walaupun dia belum menyelesaikan ujian pendidikan guru. Ketika Kartini memutuskan untuk tidak pergi ke Belanda, hal ini menjadi pukulan bagi para sahabatnya yang telah bersamanya dalam usaha meraih impiannya tersebut dan mereka pun merasa sangat kecewa.

Kartini mencoba menggambarkan kepada kawannya bagaimana budayanya masih belum semodern negara-negara seperti Belanda. Usai gagal melanjutkan pendidikan di sana, Kartini bersama dengan saudarinya, Roekmini, merencanakan pembuatan sebuah sekolah bagi perempuan remaja.

Sekolah bertujuan untuk mengembangkan pendidikan moral serta kepribadian anak.

Di bulan Juni 1903, pembelajaran resmi berawal di gedung pendopo kabupaten. Kartini merancang kurikulum dan metode pengajarannya sesuai visinya sendiri. Para siswanya terdiri dari putri-putri bangsawan yang berasal dari wilayah kota Jepara.

Pendidikan dijalankan sebanyak empat hari tiap minggunya yaitu dari Senin sampai Kamis. Siswa datang ke sekolah pukul 08.00 dan meninggalkannya pada pukul 12.30. Pelajaran yang diberikan meliputi pembelajaran membaca, tulisan, seni gambar, etika, perilaku baik, pengenalan memasak, dan juga membuat kerajinan tangan.

Kegiatan Kartini di sekolah membuatnya tidak mempedulikan kesedihan akibat gagal berangkat ke Belanda. Pada pertengahan Juli 1903, fokus Kartini saat menata sekolah menjadi terbagi ketika seorang utusan dari Bupati Rembang, Raden Adipati Djojo Adiningrat, tiba dengan membawa sebuah surat lamaran untuk dirinya.

Surat permohonan dari Raden Adipati Djojo Adiningrat yang dikirimkan kepada Kartini telah diterima bersama-sama dengan sejumlah ketentuan yang perlu dipatuhi, yakni sebagai berikut:

– Bupati Rembang menyokong dan mempromosikan ide-ide serta aspirasi Kartini.

– Izin diberikan kepada Kartini untuk mendirikan sekolah dan melatih putri-putri bangsawan di Rembang.

Kartini kemudian mengirim balasan ke Bupati Rembang yang langsung memperoleh pengesahannya, menyebabkan upacara perkawinan antara Raden Adipati Djojo Adiningrat dengan Kartini dapat diatur sesegera mungkin.

Pada tanggal 24 Juli 1903, sesudah Kartini menerima tawaran pernikahan dari Raden Adipati Djojo Adiningrat, terdapat sebuah surat resmi dari Gubernur Jenderal yang mengizinkan Kartini dan Roekmini untuk melanjutkan studi mereka di Batavia.

Mereka menerima dukungan finansial dari pemerintahan mereka secara bergiliran senilai f. 200,- (dua ratus gulden) setiap bulan selama dua tahun. Namun, kebijakan ini menjadi tak relevan lagi ketika Kartini telah memutuskan untuk melangsungkan perkawinan, dan Roekmini enggan merencanakan pendidikan mandirinya di Batavia.

Pernikahan Kartini yang awalnya ditetapkan pada tanggal 12 November 1903 berdasarkan keinginan Bupati Rembang dipercepat menjadi 8 November 1903. Upacara pernikahan tersebut digelar di Jepara dalam suasana sederhana dan hanya dihadiri oleh kerabat dekat dari pihak pengantin.

Perkahwinan tersebut tidak diiringi dengan tradisi mencium kaki sang mempelai lelaki yang menjadi keinginan Kartini. Pria itu menggunakan seragam militer, sedangkan Kartini tetap mengenakan busana sehari-hari biasanya.

Satu tahun sesudah pernikahan, Kartini mengandung dan kemudiannya melahirkan. Akan tetapi, sayang sekali beberapa hari pasca persalinan, Kartini pun meninggal pada tanggal 17 September 1903 ketika berusia dua puluh lima tahun.

Kematian R.A. Kartini benar-benar memberi dampak besar pada pemikiran suami, R.M. Djojo Adiningrat. Ia kemudian menulis sebuah surat kepada Nyonya Abendanon untuk menceritakan tentang kepergian istrinya tersebut:

Dengung lembut dan damai terdengar ketika dia mengeluarkan napas terakhirnya sambil berpelukan dengan saya. Lima menit sebelum pergi meninggalkan dunia ini, pemikiran mereka masih jernih, dan hingga detik akhir mereka tetap sadar. Di setiap ide dan upaya yang dilakukan, mereka menjadi Simbol Kasih sayang, serta visi tentang kehidupan sangatlah luas. Keesokan harinya, mayatnya dikuburkan di halaman rumah kita di Bulu, tepatnya 13 kilometer dari pusat kota.

Inilah sejarah pendek tentang RA Kartini, yang dimulai dengan dirinya dikurung, tidak dapat melanjutkan studi ke Belanda dan kemudian menikah pada usia dini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *