Skip to content

Jukut Goreng: Si Raja Lalapan Modern dengan Risiko Tersembunyi

Hidangan sayuran segar bernama lalapan adalah sajian yang amat terkenal dan erat kaitannya dengan budaya suku Sunda. Setiap kali kita mengunjungi restoran tradisional Sunda, pasti bisa menemukan lalaban di sana.

Kepercayaan suku Sunda untuk menyantap sayuran mentah telah ada selama bertahun-tahun. Sejauh tahun 901 M, seperti yang tertulis pada Prasasti Taji, disebutkan adanya kuliner tersebut. Ini menunjukkan bahwa konsep lalapan sudah populer hampir satu abad silam. Di antara teks-teks kuno yang digali dari daerah Ponorogo, istilah “Kuluban Sunda” merujuk kepada hidangan lalaban tradisional.

Jika dianalisis secara mendalam, kebiasaan memakan sayuran mentah yang dijalankan oleh masyarakat Sunda tersebut mencerminkan bahwa orang Sunda dapat menikmati gaya hidup yang sederhana.

Orang Sunda tak perlu mengolah masakan yang kompleks atau menambahkan berbagai bumbu ekstra. Hanya dengan memiliki sayur segar serta sambal, hidangan tersebut sudah dapat dinikmati dengan lezat.

Dahulu, aku kerapkali menemui lelucon sejenis itu: “Orang Sunda kalau dibiarkan di kebun juga akan bertahan dengan memakan dedaunan saja.” Saat mendengarnya, pikiranku tak dapat menggambarkannya—hanya konsumsi daun tanpa adanya lauk pauk lain. Bukankah seperti kambing ya 😊?

Namun, pada zaman dulu memang demikianlah situasinya. Ibuku mengatakan bahwa saat dirinya masih anak-anak dan berkunjung ke desa, ada kerabat yang menawarkan untuk memberi makannya hanya berupa nasigoreng, sayuran mentah, serta sambel. Meskipun bukan semua warga desa begitu, namun jelas terdapat individu yang bisa bertahan hidup dengan pola makan sebatas tersebut.

Sejumlah studi sosiolog menunjukkan bahwa memakan lalaban telah menjadi bagian dari budaya, tradisi, serta ciri khas orang Sunda. Ini didukung oleh posisi geografis dan kondisi lingkungan di daerah Jawa Barat yang dipagari gunung-gunung, sehingga membuat tanahnya sangat subur. Akibatnya, bermacam-macam jenis sayuran bisa berkembang pesar di area tersebut.

Saat ini, lalapan yang paling sering ditemui di restoran khas Sunda meliputi selada bokor, mentimun, kol, daun kemangi, terong bulat, serta kacang panjang. Terkadang, beberapa tempat juga menawarkan selada air, leunca, dan tespong sebagai tambahan. Pada masa kecilkku—sekitar tahun 1990an—varietas sayuran untuk lalaban ternyata lebih beragam dibandingkan dengan saat ini.

Karena telah melupakan nama-namanya, saya meminta bantuan kepada ibu mengenai beberapa jenis daun yang dulunya termasuk dalam menu lalapan. Menurut penjelasan dari ibu, ada berbagai macam tanaman seperti daun kedondong, tunas muda jambu, antanan, dan juga jotang, jaat, ranamidang, serta pohon dengan sebutan pohpohan seringkali menjadi bagian dari hidangan tersebut.

Bukan cuma dedanya yang digunakan sebagai lalaban, tapi pohon Pete dan Jengkol muda juga kerap dimasukkan ke dalamnya. Tak sekadar disajikan dalam bentuk sayur segar, lalapan ini bisa diberi sentuhan dengan merebusnya lebih dulu. Beberapa jenis sayuran lain seperti Wortel, Labu Siam, Kacang Panjang, Asparagus, Pakchoy, Pare, Daun Pepaya, hingga Daun Singkong umumnya diproses menjadi lalapan setelah direbus.

Pada awalnya, seperti itu biasanya lalapan disajikan. Kemudian tanpa diketahui pasti kapan permulaannya, lalapan goreng mulai populer dan sering tersedia di warung makan Sunda. Lalapan jengkol goreng telah ada sejak dulu. Namun, pete goreng serta kol goreng adalah variasi belakangan ini yang semakin banyak digemari sebagai lalapan goreng.

Kol goreng benar-benar lezat. Kepreksannya crispy. Rasanya juga manis dan gurih. Kalau hanya saja lebih sehat, saya tak akan ragu untuk mengonsumsi kol goreng tiap harinya.

Selanjutnya, hadirlah lalapan unggulan bernama jukut goreng. Istilah ‘jukut’ berasal dari Bahasa Sunda dan berarti rumput. Namun, jukut goreng sesungguhnya merupakan selada air yang telah digoreng. Nama ini diberikan kemungkinan besar karena tampilannya yang menyerupai rumput setelah diproses. Biasanya, selada air dikonsumsi secara mentah atau dimasak dengan cara tumisan.

Mirip seperti keripik kelapa, tekstur jukut goreng pun terasa renyah dan rasanya gurih. Terlebih lagi saat mengigit daunnya yang crunchy. Ditambah dengan saus pedas, jukut goreng benar-benar bisa bikin nagih.

Di sejumlah restoran, jukut goreng menjadi hidangan yang selalu ada dan ketersediaannya dicantumkan atau gambarnya dipamerkan di papan nama atau spanduk di bagian depan untuk menarik minat pengunjung supaya memilih tempat itu.

Namun demikian, agar menikmati tekstur dan rasanya yang optimal, jukut goreng harus langsung disantap saat berada di restoran. Pernah suatu kali saya membeli jukut goreng untuk dibawa pulang. Setelah tiba di rumah, sayurnya sudah menjadi lemas, keras, serta sulit dikunyah. Lebih parahnya lagi, hidangan tersebut dipenuhi dengan minyak sisa penggorengan.

Inilah tantangan utamanya. Sayuran seperti selada air cenderung menyerap banyak minyak ketika digoreng. Ini bisa membahayakan jika dikonsumsi secara berlebihan dalam jangka panjang.

Mengurangi Nilai Gizi

Telah dikenal luas bahwa ketika sayur digoreng, mereka akan kehilangan nutrisi penting. Ini disebabkan oleh proses penggorengan dalam jumlah minyak yang tinggi, sehingga bisa merusak serta melenyapkan zat besi dan vitamin di dalamnya.

Suhu minyak yang tinggi menghasilkan modifikasi kimia dalam struktur sayuran, akibatnya menetralkan zat antioksidannya.

Menimbulkan Berbagai Penyakit

Menumis menggunakan metode deep frying (dengan jumlah minyak yang cukup besar) dapat menyebabkan bahan pangan menyerap lebih banyak minyak. Sayuran yang digoreng akan mengabsorbsi lebih banyak lemak. Sebenarnya, sayuran pada dasarnya harus memiliki kandungan lemak yang rendah.

Kenaikan tingkat lemak pada sayur goreng bisa menambah risiko terkena penyakit jantung, kanker, serta tekanan darah tinggi.

Menggoreng juga membuat struktur lemak dalam minyak berubah menjadi lemak trans. Lemak trans yang dikonsumsi berlebihan dapat meningkatkan berbagai resiko penyakit, seperti kolesterol tinggi, hipertensi, stroke, penyakit jantung, dan diabetes tipe 2.

Sesuai dengan yang banyak orang tahu, para pedagang memasak sayuran goreng menggunakan minyak yang sudah digunakan berkali-kali. Selain itu, mereka juga mengolah sayurannya dalam minyak sisa untuk menggoreng ayam, ikan, serta organ dalam hewan.

Sekarang ini, dulu pernah menjadi penyuka jukut goreng. Namun saat ini, saya telah berhasil menahan diri agar tak menyentuh makanan tersebut lagi. Meskipun mencicipi lalapan goreng sangat lezat, namun kepuasan yang didapat hanya bersifat sementara.

Apa yang terjadi setelah saya menyantap lalapan goreng adalah perut menjadi tidak nyaman dan kepalaku merasakan pusing.

Kelihatannya para pecinta jukut goreng perlu mencoba kembali ke versi mentah dari lalapan tersebut. Lalapan tidak dimasak memiliki manfaat kesehatan yang lebih baik. Nutrisi yang ada di sayur-sayuran akan tetap utuh dan memberikan faedah bagi tubuh.

Di samping itu, mengonsumsi lalaban segar pun berarti menjaga hidangan lalaban tradisional Sunda yang telah ada selama satu ribu tahun.

Maka dari itu, yuk kitajaga kesehatan dengan tidak makan jukut goreng serta sayuran yang digoreng.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *