Pernah melintasi area kampus UIN Jakarta? Jika kamu datang dari arah Lebak Bulus menuju Pasar Ciputat, pasti menemui sebuah jembatan penyeberangan sekitar 200 meter sesudah melewati kampus UIN Jakarta. Mengapa jembatan tersebut tidak dibuat tepat di depan kampus UIN? Itulah yang selalu ditanyakan oleh hampir semua orang. Kamu bisa mengambil perwakilan pertanyaan ini untuk mahasiswa, dosen, pekerja bank serta rumah sakit, para pedagang, dan berbagai komunitas lain yang aktif dalam lingkup kampus UIN maupun IIQ.
UIN memiliki jumlah mahasiswa yang mencapai puluhan ribu orang. Bersebelahan dengan kampus UIN terdapat dua bank yaitu Bank Mandiri dan Bank BNI. Di sekitarnya juga tersedia sebuah minimarket beserta berbagai Warung Makan dan Pedagang Kaki Lima.
Berlawanan dengan kampus UIN terdapat kampus IIQ. Sebelah kirinya berdiri sebuah rumah sakit serta masjid megah. Sementara itu, disebelah kanannya terlihat beberapa ruko dan restoran bertebaran. Lokasi tersebut menjadi tempat perdagangan yang cukup sibuk. Banyak manusia lalu-lalang melewati area ini setiap harinya. Ribuan kendaraan roda dua pun sering kali memarkirkan diri di daerah tersebut.
Namun mengapa jembatan pejalan kaki tua yang letaknya sangat menjorok dari pusat kehidupan sosial warga masih tetap bertahan begitu saja? Padahal pengguna aktif jembatan ini hanya sedikit sekali yakni antara satu sampai lima orang selama 24 jam. Kondisi fisik bangunan sudah mulai aus; bagian besi telah karatan, genteng juga pecah-pecah, bahkan dindingnya dipenuhi oleh goresan vandalisme tanda-tanda gangguan ketenangan umum. Sudah pernah direnovasi namun tampak seperti sia-sia karena cepat retak-retak lagi. Wajar jika demikian asalkan tidak digunakan tentu akan sulit untuk bisa dilestarikan.
Di tempat yang cukup jauh dari lokasi jembatan tersebut, ribuan mahasiswa, dosen, dan staf dari kedua kampus UIN dan IIQ bersama dengan pekerja bank, rumah sakit, anggota masjid, serta pedagang melewati sana tiap hari. Jumlahnya mencapai ribuan hingga puluhan ribu orang perharinya. Tidak ada catatan pasti tentang seberapa sering penumpang tak resmi mengenakan helm hitam melindungi diri mereka saat dilewati oleh kendaraan bermotor maupun mobil. Kecelakaan kerapkali terjadi tepat di hadapan pintu gerbang kampus UIN. Antara lain, beberapa korban termasuk juga pengajar dan staff-nya sendiri. Gaji pas-pasan ditambah musibah kecelakaan semakin memperparah situasinya, demikian ungkap siswa-siswi setempat. Sungguh sangat menyedihkan nasib \’pahlawanku\’ ini tanpa adanya apresiasi.
Namun, jumlah korban kecelakaan yang tinggi tak menyebabkan pemerintah memindahkan jembatan tersebut. Mereka acuh dan enggan berurusan dengan masalah ini. Sungguh tanpa belas kasihan. Baik pemerintah kota maupun provinsi, situasinya sama saja. Berganti wali kota pun kondisinya tak berubah. Bahkan setelah bergantian gubernur juga masih tetap begitu. Jembatan penyeberangan dibiarkan terbengkalai, siapa tahu hingga kapan lagi. Hingga akhirnya merenggut nyawa ribuan mahasiswa dan dosen?
Apakah memang Allah takdirkan para politisi itu buta, tuli dan budeg ya? Kok gak ada yang peka ya?
Menariknya lagi, jawaban untuk beragam kejadian tidak menyenangkan di sekitar gerbang kampus UIN Jakarta ternyata dengan pemasangan lampu \”merah-kuning-hijau\” yang terlihat seperti pelangi. Fungsinya lebih cenderung menjadi pajangan daripada titik penyebrangan pejalan kaki. Bahaya tabrakan masih cukup besar. Lagi pula, sudah jelas bahwa para supir mobil dan sepeda motor enggan mematuhi aturan lampu lalu lintas tersebut.
Mengapa kecelakaan kerap terjadi di depan kampus UIN Jakarta? Ini disebabkan karena jalannya cukup berbelok. Para pengendara sepeda motor dan mobil yang berasal dari arah Lebak Bulus menuju Pasar Ciputat dengan jarak kurang lebih 50 meter ini sulit melihat pejalan kaki yang sedang menyeberang.
Jederrrr
… menabrak. Siapa yang keliru? Orang yang seharusnya memindahkan jembatan penyeberanan tetapi tidak melakukannya lah yang harus disalahkan.
Jangan salahkan saja pengemudi dan pejalan kaki tersebut. Keduanya merupakan korban. Mereka menjadi korban dari para pembuat kebijakan yang mengizinkan insiden kecelakaan berulang kali. Para petugas ini dibayar oleh masyarakat tetapi tidak peduli dengan keselamatan warganya yang selalu berisiko mengalami kecelakaan.
Di manakah letak otaknya? Mahasiswi itu bertanya lagi.
Jembatan penghubung sekitar 200 meter dari kampus UIN hampir tak berfungsi sama sekali. Hanya berguna sebagai media periklanan. Lokasi mencari pendapatan tambahan. Cukup lumayan, untungnya signifikan. Namun, berapa jumlah uang yang didapat melalui iklan ini guna meningkatkan Pendapatan Asli Daerah? Dipastikan lebih sedikit dibanding biaya medis merawat korban kecelakaan di area tersebut. Apakah tangan atau kaki yang terluka dapat pulih hanya lewat pembayaran materiil saja?
Bagaimana rasanya jika orang yang tertabrak adalah putra dari wali kota atau gubernur? Bagaimana pula perasaannya jika korban dalam kecelakaan tersebut merupakan anak dari kepala dinas perhubungan dan kepala dinas Pekerjaan Umum?
Setiap orang menolak, berapa lama lagi jembatan tersebut dibiarkan begitu saja tanpa digunakan? Berapa banyak lagi nyawa yang harus menderita akibatnya?