Skip to content

Jejak Arkeologis yang Mengejutkan: Kisah Di Balik Penyaliban Yesus

Buka misteri peristiwa salib Yesus dengan perspektif arkeologi: ketahui batas-batas bukti material serta sinyal tak terduga dari benda purba.

Betapa jauhkah sebenarnya ilmu arkeologi bisa menerangi salah satu peristiwa kunci dalam sejarah serta kepercayaan Kristen, yakni penyaliban Yesus Kristus?

Pertanyaan ini pastinya tidak hanya menjadi topik yang menarik untuk kalangan akademisi dan teolog, melainkan juga bagi setiap orang yang berkeinginan menggali makna sejarah di balik cerita-cerita keagamaan yang sudah membentuk peradaban manusia.

Sesuai dengan yang kita ketahui, cerita tentang penyaliban Yesus tercatat di dalam Injil dan merupakan pusat dari iman Kristen.

Akan tetapi, sering kali kita berpikir tentang apakah ada bukti fisik dari zaman tersebut yang bisa membenarkan atau paling tidak memberikan deskripsi lebih rinci mengenai ritual salib pada abad pertama Masehi, khususnya seperti apa proses penyaliban Yesus kemungkinan terjadi?

Inilah saatnya arkeologi berperan secara signifikan, walaupun prosesnya tak selalu mulus dan sering kali dibayangi keterbatasan. Mari kita bahas lebih jauh tentang hal-hal yang mampu dan juga tidak dapat ditelisik oleh bidang studi ini berkaitan dengan kejadian-kejadian dahsyat itu.

Kekurangan Bukti Arkeologi Secara Langsung Menghadirkan Tantangan Besar

Salah satu hambatan utama saat menganalisis penebakan Yesus dari sudut pandang arkeologis adalah kurangnya temuan benda-benda purbakala yang berkaitan erat dengan kejadian itu.

Penderitaan publik seperti penyaliban, yang merupakan bentuk hukuman ekstrim dan merendahkan, umumnya dilakukan terhadap kelompok miskin,budak,atau mereka yang memberontak.

Berbeda dari tokoh-tokoh berpengaruh atau anggota keluarga raja, mayat para korban salib cenderung tak dikebumikan lewat ritual istimewa ataupun dilengkapi makam megah. Justru umumnya tubuh mereka ditinggalkan mengalami pembusukan untuk menjadi peringatan kepada orang lain.

Meskipun demikian, itu bukan berarti tak memberi ruang sedikitpun untuk adanya harapan. Di tahun 1968, pada lokasi pemakaman Yahudi bernama Givat HaMivtar di Yerusalem, sekelompok ahli arkeologi mengungkapkan penemuannya yaitu satu osarium atau kotak krematorium (untuk menyimpan tulang) yang datangnya dari era pertama Masehi sampai dengan periode Revolusi Pertama orang-orang Yahudi (66-74 M).

Dalam peti mati itu, para peneliti mengungkapkan sisa-sisa rangka seorang laki-laki bernama Yehonanan ben Hagaqol. Menariknya lagi, tulang kering kakinya ditancapkan sebuah paku besi yang melengkung, dan bagian kecil dari potongan kayu zaitun tetap terpasang di situ.

Temuan ini merupakan bukti arkeologi pertama serta sampai saat ini unik, yang secara fisik mengungkapkan adanya praktik salib menggunakan paku di tempat dan waktu yang sesuai dengan penyaliban Yesus.

Jeffrey P. Arroyo Garcia, dalam tulisannya untuk Biblical Archaeology Review edisi musimsemi tahun 2025, menggarisbawahi kepentingan temuan tersebut. Walaupun ossuari Yehonanan belum tentu berasal dari masa yang sama dengan Yesus, penemuannya menyajikan ilustrasi konkret tentang cara pelaksanaan salib menggunakan paku.

Arroyo Garcia juga menekankan bahwa cara penyerbuan Romawi mungkin jauh lebih beragam daripada yang biasa terbayang oleh banyak orang. Diambil dari
Biblical Archaeology Society
, dia mengungkapkan bahwa walauppun penyaliban merupakan hukuman lazim di zaman Romawi, pemakaian paku sepertinya tidak secacat yang dibayangkan.

Varian dari Teknik Penyembunyian Roma: Bukan Hanya Menggunakan Paku?

Catatan-catatan sejarah zaman Romawi secara jelas menyatakan bahwa penyaliban merupakan hukuman yang menakutkan; akan tetapi, informasi tentang caranya dapat bervariasi.

Sejumlah referensi mengatakan bahwa yang terkena mungkin dikaitkan dengan salib, tidak semudah ditancapinya saja. Bisa jadi, metode ini merupakan campuran dari ikatan serta pemasangan paksa.

Suatu penelaahan mengenai struktur Yehohanan oleh Joseph Zias dan Eliezer Sekeles, sebagaimana disebutkan dalam jurnal tersebut.
PBS.org
Menyarankan bahwa lengannya mungkin terikat pada palang horisontal (patibulum) sementara kakinya ditancapkan menggunakan sebuah paku yang sama.

Mereka gagal menemukan bukti bahwa paku merobek pergelangan tangannya. Ini memunculkan pertanyaan menarik tentang gambaran umum tentang salib Yesus yang biasa ditampilkan dengan paku pada telapak tangan.

Anatomisnya, telapak tangan kurang kokoh untuk menopang bobot badan saat digantungkan. Bisa jadi, paku tersebut akan menusuk pergelangan tangan dan masuk ke ruang antar tulang karpal, tempat yang relatif lebih sanggup memikul beban itu.

Sejarawan Barry Strauss mengatakan bahwa Romawi dengan sengaja merancang penyaliban sebagai pertunjukan umum yang menakutkan guna mendatangkan rasa tak terhadap hukuman tersebut.

Tempat pelaksanaan salib biasanya dipilih di area yang padat dengan pengunjung. Dalam hal cara melakukannya, Strauss mengklasifikasikan proses penyaliban menjadi tiga langkah: pertama adalah mencambukkan orang tersebut, kemudian menarik salib (atau hanya tiang horisontal saja) dan terakhir menyematkan atau memaku mereka ke salib itu sendiri. Informasi ini dikutip dari sumber tersebut.
Catholic Answers Magazine
.

Seneca Muda, seorang filsuf dari Roma, juga menggambarkan variasi dalam jenis salib dan metode penyaliban para korbannya. Ada beberapa kasus di mana korban dikaitkan dengan posisi kepalanya di bagian bawah, sementara yang lain memiliki organ intim mereka menusuk, dan tidak sedikit pula yang digantung dengan lengan terentang pada kayu salib tersebut.

Ini lebih memperkuat fakta bahwa tak terdapat satu pun metode baku dalam ritual penyucian ala Romawi. Ini merujuk kepada hal tersebut.
United Church of God
.

Selanjutnya, apa yang terjadi pada penyaliban Yesus? Injil tidak menyertakan informasi rinci tentang cara Ia digiring ke tiang salib. Yang kita ketahui hanyalah fakta bahwa Dia dijadikan korban penghukuman tersebut.

Apakah Dia disalakan di tangan dan kaki? Apakah Dia juga terkunci? Bukti arkeologi tentang Yehonanan mengindikasikan bahwa penyalaman di kaki merupakan salah satu caranya. Akan tetapi, kita tidak dapat memastikan jika teknik serupa digunakan untuk Yesus.

Kain Kafan Turin dan Sudarium Oviedo sebagai Indikator Tak Langsung

Di luar bukti arkeologi langsung yang amat terbatas, banyak juga artefak lainnya yang kerap dikaitkan dengan kematian Yesus serta jadi fokus studi mendalam walaupun aslinya dan maknanya tetap dipertanyakan. Diantara kedua artefak tersebut, dua nama yang paling populer ialah Kain Penutup Tubuh Turin dan Sudarium Oviedo.

Kain Kafan dari Turin merupakan sehelai kain linen yang memperlihatkan bayangan kabur seorang lelaki bertubuh terkoyak seperti orang yang mengalami salib. Walaup despite beberapa studi saintifik sudah dijalankan untuk mendapatkan informasi tentang umurnya, temuan tersebut tetap menjadi perdebatan.

Sejumlah studi tentang karbon-14 mengindikasikan bahwa kain itu berasal dari zaman Pertengahan, namun beberapa riset terbaru di tahun 2022 mendukung dugaan bahwasanya kain tersebut bisa jadi berasal dari era Yesus.

Hal ini dilansir dari
Britannica
Namun, para peneliti menggarisbawahi bahwa hasil ini belum dapat menyatakan kebenarannya sebagai benda suci dan masih membutuhkan penyelidikan tambahan.

Ilustrasi pada kain kafan menggambarkan ada cedera di pergelangan tangan (bukan telapak tangan), bekas pukulan merata di seluruh badan, luka di kepala sesuai dengan tanduk duri, serta lubang tusukan di bagian perut.

Apabila benar-benar terbukti bahwa kain tersebut berasal dari zaman awal itu dan melapisi jasad seorang korban salib, informasi rinci ini mungkin dapat memberikan indikasi tentang perlakuan yang dialami Yesus. Akan tetapi, perlu diwaspadai agar tidak langsung membuat kesimpulan karena masih ada keraguan berkaitan dengan aslinya kain tersebut.

Artifak lain yang mengundang perhatian adalah Sudarium dari Oviedo, yaitu selembar kain kecil terkena noda darah yang dirawat di Spanyol. Menurut keyakinan Kristiani, kain tersebut dipergunakan untuk membersihkan wajah Yesus selepas Ia meninggal di kayu salib.

Penelitian forensik terhadap noda darah pada Sudarium menunjukkan bahwa itu adalah darah manusia dengan golongan AB, golongan darah yang sama yang ditemukan pada Kain Kafan dari Turin.

Selain itu, pola noda darah pada Sudarium cocok dengan luka-luka di wajah yang mungkin dialami oleh seseorang yang disalibkan. Hal jni mengacu pada
Catholicus.eu
.

Lebih lanjut, studi palynologi (ilmu tentang serbuk sari) menemukan jejak serbuk sari dari tumbuhan yang spesifik tumbuh di Palestina, yang mendukung kemungkinan asal-usul kain tersebut dari wilayah Yerusalem pada abad pertama. Meskipun Sudarium tidak menampilkan gambar seperti Kain Kafan, keberadaan noda darah dan jejak-jejak lainnya memberikan petunjuk tidak langsung mengenai penderitaan seorang korban penyaliban.

Penting untuk ditekankan bahwa kedua artefak ini bukanlah bukti arkeologis langsung dari penyaliban Yesus. Namun, jika memang otentik dan berasal dari abad pertama, keduanya bisa memberikan informasi berharga mengenai praktik penyaliban dan luka-luka yang mungkin dialami oleh seseorang yang disalibkan pada masa itu.

Menggabungkan Arkeologi dengan Sumber Sejarah dan Teologis

Walaupun bukti arkeologis yang secara langsung berkaitan dengan penyaliban Yesus cukup terbatas, hal itu bukan berarti ilmu arkeologi sepenuhnya tidak memiliki peranan dalam menerjemahkan kejadian tersebut.

Arsaeologi bisa mendukung pemahaman kita terhadap latar belakang sosial-politis dan budaya di wilayah Yudea pada awal zaman Kristen. Temuan-temuan arkeologis menegaskan adanya tindakan penyembelihan seperti hukuman Romawi saat itu. Selain itu, mereka juga menyajikan informasi mengenai ragam paku yang ditemukan serta cara para korbannya kemungkinan besar disematkan ke kayu salib tersebut.

Di samping itu, arkeologi mampu menyajikan informasi mengenai situasi hidup, ritual kematian, serta benda-benda purbakala tertentu dari zaman tersebut, sehingga bisa melengkapi pemahaman kita terhadap setting cerita-cerita dalam Alkitab. Sebagai contoh, temuan kotak tengkorak atau ossuari beserta cara peringatan meninggal orang Yahudi di waktu itu membantu menjelaskan lebih jauh tentang proses penguburan Yesus.

Meskipun demikian, perlu dipahami bahwa arkeologi mempunyai batas-batasnya sendiri. Bidang ini hanya dapat bekerja dengan bukti material saja, dan kerap kali menjadi suatu tantangan untuk melacak hubungan antara objek-objek itu dengan orang spesifik atau kejadian tertentu, terlebih lagi jika merujuk kepada insiden yang dialami oleh kelompok kurang mampu. Sebagai contoh, dalam hal penyaliban Yesus, kemungkinan sangat rendah bagi kita untuk menemukan \”salib milik Yesus\” atau paku yang pastinya digunakan saat prosesi eksekusi-Nya.

Maka itu, agar dapat memahami penyaliban Yesus dengan lebih menyeluruh, diperlukan penggabungan bukti arkeologi yang meskipun terbatas tersebut dengan berbagai referensi lainnya, khususnya laporan-laporan dalam Injil serta dokumen-dokumen historis non-Kristen pada saat itu.

Beberapa sumber seperti karya Flavius Josephus, seorang historiografer Yahudi dari masa awal abad pertama, serta Tulisan oleh Tacitus, seorang penyair Romawi, turut mengulas perihal penghukuman mati terhadap Yesus. Melihat referensi di halaman ini
Wikipedia
. Meskipun sumber-sumber ini tidak memberikan detail arkeologis, mereka mengkonfirmasi bahwa penyaliban Yesus adalah peristiwa historis yang diakui pada masa itu.

Arkeologi sebagai Pelengkap, Bukan Pengganti

Menurut pandangan saya, arkeologi memiliki peran vital dalam menyediakan latar belakang sejarah untuk cerita-cerita di Alkitab, termasuk Peristiwa Salib terhadap Yesus. Temuan-temuan semacam osarium Yehonanan menghasilkan bukti konkret mengenai praktek salib saat itu, walaupun belum tentu secara langsung mendokumentasikan seluruh detil dari penyaliban Yesus.

Artifak-artifak kontroversial semacam Kain Kafan Turin dan Sudarium Oviedo, walaupun aslinya diragukan, tetap menjadi benda yang layak dipelajari lebih dalam karena bisa jadi menyediakan indikasi mengenai cedera yang mungkin diderita oleh orang-orang yang disalib.

Namun, kita tidak boleh serta-merta bergantung pada arkeologi saja dalam upaya menyeluruh untuk memahami makna dan pentingnya kematian Yesus di salib.

Cerita salib memiliki aspek teologis dan spiritual yang sangat mendalam yang melebihi apa yang bisa ditemukan melalui ekskavasi dan analisis benda-benda purbakala. Injil menyajikan cerita yang kaya mengenai motif, penderitaan, serta dampak penyaliban Yesus dalam kerangka keyakinan.

Arkeologi sebaiknya dilihat sebagai ilmu yang melengkapi, bukan menggantikan, pemahaman kita tentang peristiwa-peristiwa keagamaan. Ia dapat membantu kita memvisualisasikan dan memahami konteks historis, tetapi inti dari kisah-kisah tersebut seringkali terletak pada pesan dan makna spiritual yang terkandung di dalamnya.

Sebuah Puzzle dengan Banyak Kepingan

Mengatasi pertanyaan utama tersebut, apakah arkeologi dapat mengungkap informasi tentang penyaliban Yesus? Jawaban sederhananya ialah: sedikit detail spesifik dan langsung, tetapi cukup berarti untuk menyediakan latar belakang dan skenario mungkin terjadi.

Kekurangan bukti arkeologi yang langsung dapat ditemukan adalah sebuah hambatan utama, namun temuan seperti kotak mayat Yehohanan menawarkan pandangan riil mengenai cara kerja salib di zaman pertama Masehi.

Perbedaan dalam teknik pemakaman ala Roma mengindikasikan bahwa kita tak boleh membatasi diri dengan satu pandangan konvensional saja. Benda-benda seperti Shroud of Turin dan Sudarium dari Oviedo, walaupun masih dipertanyakan, memberikan indikasi tersirat yang cukup menarik.

Pada dasarnya, mengerti tentang penyaliban Yesus mirip dengan mencoba menyelesaikan sebuah puzze yang terdiri dari berbagai potongan. Arkeologi hanya menjadi salah satu bagian dari itu semua. Potongan-potongan lain melibatkan naskah-naskah Alkitab, dokumen-dokumen historis, praktik-praktik keagamaan, serta pemikiran-pemikiran theologis.

Dengan mengkombinasikan seluruh bagian-bagian tersebut, kita bisa mencapai pengertian yang lebih luas dan mendalam tentang salah satu momen terpenting dalam riwayat umat manusia.

Arkeologi mungkin tak bisa menjawab seluruh tanyakan kita, namun ini masih merupakan sumber daya penting dalam upaya kita meraih pemahaman tentang sejarah serta asal-usul kepercayaan yang kita anut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *