Hamzah Sulaiman ‘Raminten’: Sang Bapak yang Jadi Sahabat bagi Karyawan

Sabtu (26/4) pagi, area Perkampungan Urusan Kematian Jogja (PUKJ) dipadati dengan rangkaian bunga dan para pengunjung yang hadir dari seluruh tempat. Mulai pukul 09.00 WIB, ribuan individu mengenakan busana warna hitam berkumpul. Setiap mereka membawa seiklim mawar putih dalam genggaman, bergerak pelan melewati deretan hiasan bunga yang menutupi halaman kantor pemakaman PUKJ.

Setiap orang hadir dengan satu tujuan: menyampaikan penghargaan akhir kepada Hamzah Sulaiman, sang pencipta Hamzah Batik dan figura di balik simbol budaya ‘Raminten’.


Di kesedihan yang dalam, upacara keagamaan singkat dilangsungkan sebelum peti mati tertutup. Orang-orang bergantian datang—karyawan, teman, dan kerabat—untuk melihat wajah Hamzah Sulaiman untuk terakhir kali. Beberapa orang merendahkan kepala dengan mata berkaca-kaca, sementara beberapa lainnya tidak dapat membendung suara tangisan, biarkan air mata mengalir bebas di pipi mereka.

Diantara mereka, Humas Hamzah Batik, Renita, menyampaikan tentang masa kesulitan yang tidak akan pernah terlupakan, yaitu ketika lokasi bisnis mereka habis tertelan api pada tahun 2004.

“Kedua gedung tersebut terbakar habis karena strukturnya yang terbuat dari kayu. Namun, sang ayah masih mencoba untuk melanjutkan usaha mereka agar karyawan-karyawannya di Hamzah Batik dapat tetap bekerja,” jelasnya saat ditemui oleh Pandangan Jogja pada hari Sabtu, 26 April.

Setelah upacara pembukaan selesai, suatu ritual penghargaan dilakukan dengan cara merangkak di sekitar peti mati, setelah itu peti dikencangkan. Kemudian, peserta mengiringinya secara perlahan untuk meninggalkan tempat peninggalan. Di bagian paling depan, putra angkat pertama Hamzah Sulaiman memimpin grup tersebut sambil membawa fotografi sang almarhum.

Sepanjang perjalanan ke Krematorium UPTD TPU Madurejo, orang-orang di sekitar dengan alamiah membuat ruang bagi prosesi tersebut. Di hadapan Hamzah Batik Malioboro, barisan sementara pun terhenti. Sejumlah pegawai berkumpul secara tertib, memegang spanduk bertulis “In Loving Memory”. Mereka merendahkan kepala, menyampaikan doa pribadi untuk individu yang sudah lebih dari sekedar pemimpin, tetapi bagai ayah bagi mereka.

Diantara barisan tersebut, Penyelia Panggung Raminten Cabaret Show, Sinta, menyampaikan pedoman dasar yang selalu dipatuhi Hamzah terkait kesejahteraan stafnya.


“Menurut Hamzah, kita perlu memberikan upah yang tinggi agar pekerjaan menjadi lebih mudah,” katanya.

“Beliau menyebutkan, ‘Madu ini adalah hasil penjemuran kami, semua harus dicicipi,’ ” katanya.

Menurutnya, keadilan serta kegembiraan para pekerja bukan hanya sebuah konsep, tetapi menjadi pedoman hidup yang dijalankan Hamzah sehari-hari.

Untuk bakat dalam pertunjukan cabaret Raminten, Jacklin, Hamzah merupakan figur yang senantiasa dekat dengan pentas, muncul setiap kali dengan antusiasme serta kesadaran akan sekitar.

“Setiap hari Jumat dan Sabtu, dia selalu menonton kami bermain, lalu memberikan kritik serta semangat usai pertunjukkan tersebut. Impian dia adalah agar Raminten Cabaret menjadi lebih dikenal, memiliki penonton yang semakin bertambah, dan mendapat sambutan yang lebih besar,” ungkapnya.


Meskipun demikian, warisan yang ditinggalkan oleh Hamzah Sulaiman melebihi ranah pertunjukan dan industri. Semangatnya dalam bidang budaya telah mendarah sampai ke aspek-aspek dasar dari kehidupan sehari-hari. Walaupun berasal darimarga Tionghoa, cintanya pada budaya Jawa sangatlah mendalam dan kukuh.

“Semangat kebudayaan Jawa-nya begitu kuat,” ujar Sinta. “Bisa jadi karena saya sendiri berasal dari Jawa malah belum sebanding dengan Kanjeng,” tambahnya.

Sekitar pukul 14.54 WIB menjelang senja, upacara kremasi telah berakhir. Abuh jenazah pun diserahkan ke tangan keluarganya. Kini abu tersebut menjadi pengingat diam tentang petualangan panjang seorang lelaki yang tidak hidup demi dirinya saja, tetapi juga bagi banyak insan lainnya.

Pada hari tersebut, bukan hanya seorang pebisnis biasa yang mengundurkan diri. Hamzah Sulaiman menyerahkan sebuah warisan: jiwa gotong royong, kesungguhan dalam menyayangi tradisi, serta prinsip persaudaraan yang saat ini diserahkan kepada anak-cucu muda agar dipelihara dan diteruskan.

Artikel menarik Lainnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com