Pernah mendengar ungkapan “menabung adalah pintu kekayaan”? Di zaman modern ini, generasi muda malahan mengubahnya menjadi “kehidupan hemat memulai dari kesegaran isi dompet”. Namun, bisakah kita bilang bahwa pola hidup seperti ini memberikan manfaat yang lengkap bagi kesehatan finansial?
Awalnya saya mengenal gaya hidup irit tidak melalui seminar finansial ataupun pelatihan berinvestasi, tetapi lewat TikTok. Ya, dari video populer tentang Pak Gabriel Dhandi, pegawai swasta di Jakarta yang berhasil menyisihkan uang senilai 3,4 juta rupiah dari pendapatan bulanan sebesar 5 juta rupiah. Untuk meminimalisir pengeluaran, dia hanya membayar sewa tempat tinggal 400 ribu rupiah serta biaya makan perbulannya mencapai 650 ribu rupiah dan ia pun seringkali berjalan kaki menuju tempat kerja. Keren? Tentu saja. Tertarik untuk mencobanya juga? Mungkin belum semua orang bisa bertahan dengan hal tersebut.
Hidup hemat tidak hanya tentang penghematan. Ini adalah seni manajemen keuangan yang bergantung pada akal sehat daripada kesombongan. Bukan masalah pelit, tetapi lebih kepada bijak dalam menetapkanprioritas.
Dimulai dengan mengurangi pembelian kopi modern tiap petang, hingga berpikir berkali-kali sebelum memutuskan untuk membayar produk Diskon. Perlu diingat, hal ini bukan sekadar tren sesaat, melainkan respon terhadap realitas pedas yang tak bisa dielakkan: harga meningkat sementara pendapatan tetap sama saja.
Menurut Kemenkeu, hal yang paling penting adalah menetapkan tujuan keuangan, memisahkan antara keperluan dan kemauan, serta menjauhi hutang untuk pemakaian pribadi. Hal ini lebih dari sekedar hemat; itu tentang pengaturan sumber daya dengan cerdas. Seperti pola makan sehat: tidak berpuasa tetapi memilih nutrisi yang baik.
Jika kata-kata generasi Z mengatakan: “Lewati FOMO, simpan di dompet dahulu.” Alasannya cukup jelas—mengapa perlu menghabiskan uang untuk mendapatkan pengakuan sosial jika pada akhirnya hanya akan membuat kita kesulitan membayar tagihan?
Namun, jelas bahwa gaya hidup hemat tidak selalu berlangsung lancar. Terlebih jika kita sudah biasa menjalani kehidupan serba membeli tanpa pikir panjang, di mana meskipun isi dompet tipis, pengeluarannya masih seolah-olah tak terkendali.
Teman saya dulu berkata, “Saya tidak boros sih, tetapi benda-benda menarik itu selalu mempesona.” Itulah hal yang sebaiknya diwaspadai. Frugal living tak hanya tentang mengendalikan pengeluaran, melainkan juga merombak cara pandangan kita terhadap nilai uang.
Lihatlah situasinya saat ini: berdasarkan survei properti nasional, baru 38% pemuda dalam rentang umur 26-30 tahun memiliki hunian pribadi mereka sendiri. Sebaliknya, untuk generasi sebelumnya, mempunyai tempat tinggal pada usia 25 tahun adalah hal biasa. Namun kini? Lebih baik anggap sebagai impian atau harapan jauh, terkecuali jika Anda mendapatkan warisan secara tak terduga seperti diturunkan oleh surga.
Hidup semakin memberatkan, pendapatan tidak selalu meningkat, dan kemampuan kita terkadang tak sesuai dengan permintaan pasar kerja. Akhirnya, banyak pemuda memutuskan untuk pindah ke profesi sebagai freelancer, pembuat konten, pedagang daring, hingga menjadi driver digital. Intinya adalah mencari nafkah yang halal serta dapat menopang hidup mereka.
Namun, terdapat dampak negatif dari model ekonomi ini: tidak adanya jaminan pensiun, absennya kepesertaan dalam BPJS Ketenagakerjaan, serta pendapatan yang fluktuatif seperti sinyal–berguncang naik-turun secara tak tentu. Oleh karena itu, wajar bila pada akhirnya gaya hidup hemat menjadi strategi utama bagi pemuda untuk bertahan hidup.
Tetapi, bisakah gaya hidup hemat tetap menyehatkan?
Berdasarkan pengetahuan dari bidang perilaku sains, gaya hidup hemat dan teratur dapat meningkatkan tingkat kepuasan hidup. Hal ini bukan disebabkan oleh jumlah uang yang bertambah, tetapi karena adanya rasa memiliki kendali penuh atas kehidupan diri sendiri.
Kami lah yang mengatur waktu serta cara penggunaan uang kita. Tak bergantung pada pihak lain. Tenang saja bila akhir bulan tiba sebelum upah kami masuk.
Studi juga mengindikasikan bahwa individu yang lebih suka memilih aktivitas seperti bepergian, hadir di konser, atau menghabiskan waktu berharga bersama keluarga dibandingkan memiliki benda-benda mewah umumnya merasa lebih bahagia dalam kehidupannya.
Yang dimaksud adalah “kebahagiaan experiential”. Oleh karena itu, menonton konser musisi K-pop satu kali dalam seumur hidup mungkin akan meninggalkan kesan yang lebih mendalam dibandingkan memiliki seri iPhone 14, 15, hingga 16.
Hidup hemat dapat membantu kita menjadi lebih sehat secara psikis. Tanpa beban kredit, tanpa tekanan hutang, dan tidak repot membanding-bandingkan diri dengan orang lain, pikiran akan terasa jauh lebih lega.
Kita menjadi lebih mampu menumpukan perhatian pada aspek-aspek yang sungguh esensial, yaitu kesejahteraan diri, hubungan keluarga, serta waktu untuk memanjakan diri.
Namun demikian, hal ini tidak bermakna bahwa gaya hidup hemat bebas dari rintangan. Salah satu masalahnya adalah ekspektasi. Kami tinggal dalam lingkungan dengan norma-norma sosial yang menuntut untuk tampak sukses, memiliki rumah sendiri, kendaraan pribadi, serta melakukan perjalanan setiap tahun. Menerapkan cara hidup irit mungkin menjadikan kami kelihatan seperti gagal, meskipun sebenarnya kami hanya mencoba bertahan.
Menurut teori prospek, harapan berperan sebagai acuan bagi manusia dalam mengukur tingkat kebahagiaan mereka. Jika selalu membanding-bandingkan diri dengan orang lain yang memiliki harta lebih banyak, tentu saja kita cenderung merasa kurang. Namun, jika dapat menekan harapan tersebut dan berkonsentrasi pada situasi sebenarnya, rasa puas pun muncul secara alami.
Singkatnya, gaya hidup hemat juga mendidik kita agar tak gampang tergiur dan tidak merasa kurang karena belum memiliki produk bermerk atau hangout di lokasi populer. Kita justru mempelajari bagaimana mengukur kehidupan melalui nilainya, bukan penampilannya.
Aspek yang menarik lainnya, gaya hidup hemat ternyata ramah terhadap lingkungan. Hal ini membuat kita menjadi lebih berhati-hati dalam membelanjakan uang untuk kebutuhan sehari-hari. Misalnya saja tidak perlu membeli pakaian baru setiap bulannya, lebih banyak menggunakan kembali barang-barang lama, serta mengurangi penggunaan sampah plastik.
Ada korelasi kuat antara hidup hemat dan hidup minim limbah. Di Jepang, rumah-rumah kecil dan fungsional jadi tren. Di Eropa, banyak orang mulai pilih naik sepeda dan tinggal di rumah mungil untuk mengurangi jejak karbon.
Indonesia juga perlahan-lahan mulai menuju arah itu. Ide ekonomi bagi-bagi seperti sewa mobil, baju, hingga peralatan elektronik semakin banyak digunakan. Tidak perlu segala sesuatu dimiliki sendiri, terkadang cukup dengan meminjammkannya saja.
Tersembunyi di balik arus gerakan gaya hidup hemat ini, sesungguhnya berlangsung pertarungan raksasa antara pola pikir konsumtif dengan pendekatan minimalistis. Sebuah sisinya, kita diserbu iklan serta trend media sosial yang menawarkan godaan kuat untuk melakukan pembelian demi pembelian. Sementara itu, kondisi finansial aktual mendorong kita untuk menjalani cara hidup lebih sederhana.
Di sela kedua kutub tersebut, zilennial lahir. Bukanlah mereka generasi pemurah, melainkan generasi yang praktis. Tidak ada halangan untuk bersenang-senang, tetapi kegembiraan yang tak memberatkan kantong menjelang akhir bulan menjadi preferensi mereka. Hidup hemat bukan hanya sebuah opsi, namun telah berubah jadi taktik kelangsungan hidup dalam era biaya semakin meningkat.
Kemudian, bisakah gaya hidup hemat menyelamatkan kita?
Hasilnya ialah: tentu saja, asalkan kita tidak menggunakannya sebagai dalih untuk merasa cemas dalam menikmati kehidupan. Gaya hidup hemat yang baik berarti menyadari bahwa hidup ini bukan soal membahagiakan pihak lain, tetapi lebih pada pembentukan versi terbaik dari diri kita sendiri—menggunakan segala potensi dan kemampuan yang dimiliki.
Jika gaya hidup irit membantu kita belajar untuk mensyukuri apa yang dimiliki, sabar menunggu kesempatan berikutnya, serta menjadi lebih selektif dalam pengambilan keputusan, maka ini merupakan pendekatan yang patut dicoba. Tetapi jika cara tersebut menjadikan kita cemas saat harus menghabiskan uang atau selalu merasa bersalah ketika menikmati suatu hal, bisa jadi ini telah berkembang menjadi perilaku “irit berlebihan” yang tidak sehat.
Pada akhirnya, gaya hidup irit merupakan suatu bentuk kesenian yang mengubah keterbatasan menjadi sebuah kekuatan. Ini lebih dari sekedar perhitungan biaya-biaya saja; ini tentang cara kita menjalani hidup berarti dan tidak semata-mata untuk memuaskan ego atau gengsi. Seperti halnya perkataan bijak zaman sekarang: “Berpiknikah sebelum Anda belanja.” Atau bisa juga dibilang bahwa “hidup hemat bukanlah tanda kemiskinan tetapi justru menunjukkan kecerdasan dalam bertindak.”
Mari kita bergerak menuju gaya hidup hemat tidak karena rasa takut, tetapi karena pemahaman. Sebab hidup secara sederhana itu menyenangkan, terlebih lagi jika kedua isi dompet dan hati sama-sama senang.