Skip to content

Empat Hakim Jadi Tersangka Suap: Bisakah Perusahaan Minyak Sawit Dijerat Hukum?


Beberapa ahli hukum serta aktivis anti-rasuah menganggap bahwa penunjukan empat hakim sebagai tersangka dalam dugaan suap berkaitan dengan vonis pelepasan perkara korupsinya ekspor CPO harus dijadikan kesempatan untuk menyinari kasus-kasus lain yang mencakup perusahaan multinasional.

Pada hari Senin (14/04), Kejaksaan Agung mengeluarkan penahanan bagi ketiganya dari para Hakim yang sebelumnya telah melepaskan tiga perusahaan dalam skandal suap terkait dengan pengurusan izin ekspor kelapa sawit.

Tiga hakim tersebut dicurigai telah menerima suap dari ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, orang yang sama pernah mendapatkan suap senilai Rp60 miliar dari dua pegiat hukum korporat.

Peneliti dari Indonesian Corruption Watch (ICW), Muhammad Yassar, menggambarkan kasus suap hakim dengan pola serupa tersebut sebagai ”

unprecedented

[belum pernah terjadi sebelumnya]”.

Yassar menganjurkan pentingnya ketelitian saat memantau dugaan penyuapan yang mencakup perusahaan raksasa, khususnya pada bidang pertambangan dan energi.

“Mungkin saja selama ini telah terjadi beberapa kasus di mana perusahaan-perusahaan tersebut pada dasarnya sudah melanggar hukum dengan melakukan tindakan penyuapan, namun kasus-kasus itu kemudian disingkirkan lewat cara-cara pemberian dan penerimaan suap,” jelas Yassar kepada BBC News Indonesia.

Setuju, ahli hukum serta kejahatan pencucian uang, Yenti Garnasih, menekankan bahwa perkara ini seharusnya membuka jalan untuk menyelidiki kembali kasus-kasus yang serupa.

“Putusan tersebut ternyata terjadi akibat adanya suap sebesar 60 miliar rupiah. Memang ada pembelokan dalam keputusan ini. Hal itu dilakukan oleh kelompok kriminal yang melibatkan para hakim,” jelas Yenti.

Urutan peristiwa penunjukan keempat hakim sebagai tersangka dalam kasus suap

Pembongkaran kasus dugaan suap terkait pengurusan permasalahan ekspor CPO ini tak dapat dilepaskan dari keputusan Pengadilan Negeri Tipikor di PN Jakarta Pusat yang ditetapkan pada 19 Maret 2025.

Pada saat tersebut, majelis hakim yang beranggotakan D, ASB, dan AM, mengadili perkara dugaan suap dalam pengurusan insentif ekspor CPO pada rentang Januari-Apri l 2022 dihadapan tiga perusahaan tersangka yaitu Grup Wilmar, Grup Musim Mas, serta Grup Permata Hijau seperti dicatatkan dalam laporan.

Kompas.com.

D, ASB, dan AM mengambil keputusan terkait kasus itu dengan

keputusan bebas dari semua tuduhan hukum

ataau menurut hukum di Indonesia diketahui sebagai

onslag van rechtsvervolging

dalam istilah Belanda.

Singkatnya, para terdakwa tersebut

telah teruji mengerjakan apa yang disangkakan

, tetapi menurut hukum,

Tindakan tersebut tidak termasuk kategori kejahatan atau pelanggaran hukum.

a.

Pada hari Sabtu (12/04) sore, Kejakshaan Agung mengumumkan bahwa Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, MAN, telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap.

Direktur Penyidikan Jampidsus, Abdul Qohar menyebutkan bahwa MAN sebelumnya pernah menjadi Wakil Ketua di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Hasil investigasi dari Jaksa Agung menunjukkan bahwa kedua pengacara MS dan AR sebagai perwakilan hukum telah menyediakan dana sebesar 60 miliar rupiah untuk meyakinkan panel hakim dalam persidangan kasus CPO supaya memberikan veredict bebas.

BBC News Indonesia telah mengirim permohonan klarifikasi kepada Wilmar Group, Musim Mas Group, dan Permata Hijau Group. Tetapi, sampai artikel ini diterbitkan, pihak terkait belum memberikan balasan.

Kepada kantor berita

Reuters

, Wilmar International Limited yang berkantor pusat di Singapura menyatakan bahwa investigasi tentang kasus tersebut tidak mencakup Wilmar Group atau pegawai mereka “berdasarkan informasi terkini” milik perusahaan.

“Dengan keyakinan total bahwa kita tidak memiliki kesalahan terhadap segala bentuk tudingan, langkah-langkah yang telah kita lakukan saat itu hanya bertujuan untuk meningkatkan suplai kelapa sawit ke pasar walaupun dengan beban biaya ekstra. Tujuan utamanya adalah mendukung pemerintah dalam mengatasi ketersediaan produk domestik dan juga meredam harga,” demikian tertulis dalam pernyataan resmi oleh Wilmar International Limited.

Dapatkah petugas hukum menjebloskan perusahaan dalam skandal suap?

Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan TindakPidana Korupsi (KUHP) menetapkan bahwa korporasi merupakan subjek hukum yang bisa diproses secara hukum jika terlibat dalam tindakan korupsi.

Hukum prosedur dalam kasus pidana ditentukan oleh Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 13 Tahun 2016.

Khususnya, Peraturan Menteri Nomor 13 tahun 2016 menetapkan bahwa perusahaan bisa dipertimbangkan bertanggung jawab secara hukuman—terkait dengan kasus suap dan lain-lain—jika memenuhi setidaknya satu dari beberapa syarat yang disebutkan sebagai berikut:


  • Perusahaan meraih untung atau faedah dari tindakan kriminal itu.

  • Pelanggaran hukum dijalankan demi keuntungan perusahaan.

  • Perusahaan mengizinkan kejadian kriminal.

  • Perusahaan gagal mengambil tindakan pengamanan penting guna menghindari kejadian kriminal.
  • Mantan Kepala Pengadilan Negeri Surabaya menjadi tersangka dalam kasus dugaan suap terkait putusan bebas Ronald Tannur – orang yang dulunya dijuluki sebagai ‘hakim luar biasa’

Namun begitu, menurut Muhammad Yassar dari ICW, menjadikan korporasi sebagai subjek hukum tetap menjadi tantangan utama dalam upaya memberantas suap dan rasuah.

Mengapa?

Karena itu, menurut Yassar di hari Selasa (15/04), UU Hukum Acara Pidana belum menyertakan aturan yang cukup maju dan lengkap mengenai pidana korporasi.

Yassar mengatakan bahwa Perma Nomor 13/2016 hanya merupakan “aturan sebagian” tentang pidana korporasi.

“Sayangnya, dalam hal-hal terkait suap dan rasuah, aturan tersebut belum sering diterapkan oleh aparat penegakan hukum,” ungkapnya.

Salah satu alasannya adalah karena isi dari aturan tersebut tidak ditempatkan pada tingkat Undang-Undang. Hal ini menghasilkan kerancuan bagi pejabat hukum lantaran ada banyak cara untuk menafsirkan ketentuan-ketentuan yang harus menjadi dasar saat mendakwa perusahaan.

Selanjutnya, Yassar menyebut bahwa dalam hal kapabilitas, penegak hukum di Indonesia kerap merasa kesulitan saat menentukan apakah sebuah pelanggaran hukum adalah tanggungan korporasi atau justru individual.

Di tahun 2023, ICW melaporkan bahwa terdapat paling tidak 252 wirausahawan atau individu dari sektor swasta yang menghadapi persidangan atas dugaan kasus korupsi dalam tahun tersebut.

“Tetapi hal ini mengacu pada individu, bukan korporasi sebagai entitas hukum,” jelas Yassar.

Berdasarkan data tersebut, paling tidak cuma tiga perusahaan saja yang dituntut karena kasus suap dari seluruh 898 tersangka di pengadilan negeri.

Di tingkatan mahkamah banding, hanya terdapat 6 perusahaan dari seluruh 582 terdakwa yang berhasil menghadapi persidangan.

“Seluruh perkara yang mencakup perusahaan sebagai entitas hukum mengacu pada pasal pelanggaran keuangan negara dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Penegakan Hukum Terhadap Pelaksanaan Kejahatan Korupsi, dan tidak termasuk pasal suap,” jelas Yassar.

Terpisah, Profesor Kriminologi dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Andri Gunawan Wibisana, mencatat bahwa sejumlah pejabat lawan tindak pidana justru sering kali melanggar aturan tersebut.

ultimum remedium

Atau “sebagai pengadilan terakhirdalam proses hukum.”

Seringkali di Indonesia, tuduhan hukuman dipandang sebelah mata dan yang terjadi justru pemberian sanksiadministratif dengan dalih tertentu.

ultimum remedium

,” ujarnya.

  • Tudingan penyuapan kepada Mahkamah Agung: Sidang tertutup di MK menjadi kesempatan untuk manipulasi kasus, KPK dipersilakan menyelidiki kemungkinan keterlibatan hakim lainnya

Andri mementingkan kebutuhan penerapan hukuman pidana untuk perkara-perkara terkait korupsi atau suap sebagai cara negara menyatakan ketidaksetujuannya atas perilaku semacam itu.

“Mungkin besarnya denda hampir sama. Namun, hukuman pidana merupakan ungkapan negara yang mengecam suatu tindakan. Ungkapan penolakan ini tidak terdapat pada sanksi administratif,” ujarnya dengan tegas.

Pakar hukum dan ahli tindakan terhadap pencucian uang, Yenti Garnasih, menekankan bahwa penegak hukum perlu sepenuhnya memahami definisi dari “kejahatan korporasi,” seperti yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Antirasuah.

“Penegak hukum harus mampu memperhatikan dan mengupas tuntas kejahatan yang berhubungan dengan sebuah perusahaan,” kata Yenti.

Bila telah dikonfirmasi, dapat dikenakan hukuman mulai dari sanksi ringan hingga ancaman paling berat yaitu mencabut lisensi serta didenda. Lebih dari itu, sangat penting untuk mengambil kembali seluruh laba perusahaan yang diakumulasikan sejak bukti kedapertaannya dalam tindak pidana.

Berdasarkan penanganan kasus suap terkait ekspor CPO di mana Kejaksaan Agung mengeluarkan barang rampasan seperti mobil mewah, Yenti menyimpulkan bahwa ada potensi penerapan pasal TPPU.

“Apabila barang bukti yang diamankan berupa mobil mewah, hal tersebut tak hanya berkaitan dengan kasus suap saja, tetapi juga menunjukkan adanya dugaan pelaksanaan kejahatan pencucian uang guna mempercepat penahanan serta pengambilalihan aset,” jelas Yenti.

Di Indonesia, hukuman keras untuk kasus korupsi dibutuhkan. Karena mereka enggak juga kapok. Sebenarnya akan lebih membuat kapok jika hartanya disita dan status ekonominya diruntuhkan.

‘Pemimpin MA perlu tegas dan kuat’

Sebaliknya, aktivis anti-korupsi dan ahli hukum pidana juga menggarisbawahi keberadaan hakim-hakim yang tetap menerima suap.

Menurut laporan dari ICW, antara tahun 2011 sampai dengan 2024, paling sedikit ada 29 hakim yang dijuluki sebagai tersangka karena mereka dituduh menerima suap guna mengubah keputusan pengadilan.

“Bila dihitung total, besarnya suap mencapai kisaran sekitar Rp 108 miliar,” kata Yassar.

Terpisah, mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) La Ode Syarif menyampaikan bahwa Ketua Mahkamah Agung (MA), Sunarto, adalah individu berrekam jejak cukup baik dan sebaiknya memiliki tindakan tegas untuk menangani hakim-hakim yang melanggar aturan.

Bila tidak, kondisi serupa bakal tetap berlanjut. Saya amat menginginkan para pemimpin di Mahkamah Agung agar sungguh-sunguh.

zero tolerance

Terkait hakim-hakim yang melanggar aturan, sebaiknya semua dipecat saja,” ungkap La Ode kepada BBC News Indonesia pada Senin (14/04).

Juru Bicara Mahkamah Agung, Yanto, menyebut bahwa mereka sudah menangani masalah tersebut secara keras dengan melakukan penonaktifan sementara terhadap empat hakim itu.

Selanjutnya, Yanto menyatakan bahwa penangguhan secara definitif akan dijalankan apabila kemudian hari pengadilan merilis keputusan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Solidaritas Hakim Indonesia (SHI) dalam pernyataan tertulis menyebutkan bahwa penyebab utama dari kasus suap hakim bersifat multidimensi dan tak sebatas pada satu faktor saja.

“Terdapat gabungan dari beberapa hal: kesejahteraan yang belum sempurna, sistem promosi dan rotasi, ditambah dengan kurang kuatnya budaya pengawasan baik internal maupun eksternal,” demikian tertulis dalam laporan tersebut.

Upaya pemberantasan suap tak cukup hanya dengan tindak lanjut saja. Perlu adanya penyempurnaan yang menyeluruh mulai dari awal proses.

Terpisah, aktivis anti-korupsi Tibiko Zabar mengkritik kelemahan dalam sistem pengawasan yang harus dipertanggungjawabkan oleh Badan Pemantau Mahkamah Agung serta Komisi Kehakiman.

“Incident ini pun memanjangkan deretan hakim yang tersandung kasus suap. Menurut data dari Komisi Pemberantasan Korupsi, sejak didirikan sampai tahun 2022, paling tidak telah ada 21 hakim yang dinyatakan bersalah atas tindakan korupsi,” katanya.

‘Hakim juga manusia’

Mengenai masih ada kasus suap kepada hakim, Kepala Biro Hubungan Masyarakat Mahkamah Agung, Sobandi, mengatakan masalahnya sebenarnya berada di integritas dari beberapa hakim tersebut, dan tidak disebabkan oleh kekurangan sistem atau institusi mereka.

“Pertanyaan utamanya ada pada integritas dari pihak tertentu,” kata Sobandi, Rabu (15/04).

Sobandi menggarisbawahi bahwa MA secara berkala melaksanakan pendampingan dan pemantauan guna memperbaiki kejujuran para hakim.

Namun, Sobandi mengaku ada batasannya dalam melakukan pemeriksaan.

“Monitoring kita hanya berlaku selama jam kerja. Kita tidak bisa memantau seorang hakim atau pegawai pengadilan setiap waktu, yaitu 24 jam,” katanya.

Sobandi juga menyebutkan tentang kondisi kesejahteraan para hakim, terlebih bagi mereka yang mengurusi kasus kejahatan korupsi dan memiliki tanggungan pekerjaan berat namun menerima gaji sebanding dengan hakim di bidang lain.

Ia mendesak pemerintah untuk menambah perhatian tentang masalah tersebut.

Sebaliknya, Sobandi juga menyebutkan bahwa ” hakim pun adalah manusia “.

“Apa pun sekuat apapun hakim, tetap saja mereka adalah manusia. Jadi ketika menghadapi godaan seperti jumlah duit sebanyak Rp 60 miliar tersebut, tentunya bisa ikutan bergoyah, bukan?” tandasnya sambil memperjelas titik utama tentang oknum tersebut.

Untuk mencegah masalah sejak dini, Mahkamah Agung merancang penilaian komprehensif atas seluruh hakim yang bertugas di Jakarta dan akan menyarankan perpindahan mereka setiap 24 bulan sekali.

“Oleh karena godaan di Jakarta, dia mengatakan bahwa ia sendiri mengetahui dampaknya pada uang,” jelasnya.


Reportase oleh Amahl Azwar

  • ‘Dalam lingkaran’ dikabarkan membantu pengusaha keluarga besar dalam industri biodisel dan kelapa sawit.
  • Urutan kejadian kedua pegawai senior di Pertamina ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap terkait penyelundupan minyak mentah, dituduh memberi perintah untuk mencampur ulang atau menggabungkan RON 90 menjadi Pertamax.
  • Apakah dugaan korupsi CSR BI memang melibatkan aliran dana kepada seluruh anggota Komisi XI DPR?
  • Apakah pengusaha serta politikus Indonesia yang dicurigai terlibat dalam perjudian daring di Kamboja bisa ditangkap oleh kepolisian?
  • ‘Makelar kasus’ di Mahkamah Agung, Zarof Ricar dituduhkan menerima suap sebesar Rp915 miliar dan 51 kg emas – Siapa Zarof dan apa alur kejadiannya?
  • Kenapa penahanan Paulus Tannos dari Singapura memakan waktu cukup lama – Siapakah sebenarnya Paulus Tannos serta peran yang ia mainkan dalam skandal supected korupsi e-KTP?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *