Skip to content

Emas: Benarkah “Safe Haven” atau Bom Waktu?

Dalam suasana gembira warga berbondong-bondong membeli emas, timbul pertanyaan penting: apakah emas sebenarnya merupakan aset pelindung keamanan atau malah kita saat ini duduk di atas ranjau waktu yang bisa meledak sewaktu-waktu?

Ayo kita membuka pikiran. Pada saat ini, nilai emas PT Aneka Tambang (Antam) dengan kadar 24 karat sudah mencapai angka Rp1.975.000 per gram pada bulan April tahun 2025. Nominal tersebut tampak sangat menggiurkan dan menarik hingga miliaran individu turut serta melakukan pembelian, yang tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya tengah terjebak dalam fenomena spekulasi besar-besaran. Panjangnya barisan di gerai emas, bersama-sama dengan gelombang pembelian impulsif di seluruh penjuru negeri, merupakan gambaran khas perilaku mob mentality—yaitu sikap mengikutinya tanpa menggunakan akal sehat atau pertimbangan matang.

Apakah Anda ingat tentang tahun 2013? Harga emas global merosot kira-kira 30% hanya selama satu tahun saja. Terlebih lagi di bulan April 2013, harga emas turun drastis hingga 13% cuma dalam dua hari! Apa penyebabnya? Adalah penjualan massal yang disebabkan oleh keprihatinan mengenai berkurangnya stimulus dari The Fed serta pelemahan nilai tukar dolar Amerika Serikat. Ingatlah bahwa pada masa tersebut, dorongan tambahan datang dari rasa takut dan keinginan untuk mendapatkan likuiditas bagi investor-investor besar.

Mari kita telaah kondisi tahun 2025. Inflasi dunia tetap meningkat, The Fed sekali lagi mengubah tingkat suku bungan, serta kurs rupiah cenderung naik turun. Warga masyarakat mencari perlindungan pada emas sebagai jika logam mulia tersebut dapat menahan goncangan ekonomi. Namun, fakta dari masa lalu telah menyatakan bahwa emas tidak selalu menjadi penjamin kesetabilan.

Data Dewan Emas Dunia mengungkapkan bahwa di semester awal 2023, ada pengurangan minat untuk membeli emas hingga 13% jika dibandingkan dengan periode serupa tahun lalu. Bila pola ini tetap berlangsung, bagaimana mungkin kita dapat yakin kalau harga emas tak akan merosot lagi layaknya kondisi yang terjadi pada tahun 2013?

Lebih menusuk lagi, mari kita bahas fakta keras ini: emas tak berguna sebagai alat bayar. Dalam situasi krisis, emas tidak dapat dipergunakan untuk membeli barang-barang penting. Orang-orang yang saat ini menimbun sedikit demi sedikit emas akan secara bertubi-tubik menjualkannya ketika butuh dana tunai mendesak. Lalu bagaimana bila banyak sekali individu melepas emas mereka bersamaan? Persediaan pasar bakal melimpah, dan prinsip dasar ekonomi pun bekerja—harganya anjlok.

Bayangkan saja bila cuma 10% dari penduduk Indonesia yang kini memiliki emas (misalkan sekitar 5 juta individu) berniat menjual secara rata-rata 10 gram emas mereka. Hal tersebut akan mengakibatkan penambahan pasokan hingga 50 juta gram atau setara dengan 50 ton emas baru dalam waktu singkat. Pertanyaannya adalah: adakah jumlah pembeli yang mencukupi untuk meresapinya seluruhnya tanpa menyebabkan tekanan pada harga?

belum termasuk pengaruh dari luar negeri. China, yang merupakan salah satu pembeli emas terbesar di planet ini, sudah memangkas penumpukan emasnya sejak akhir tahun 2024. Kalau negara raksasa tersebut pun menjadi tidak yakin, kenapa kita malah bersikap begitu optimis tanpa dasar?

Kemudian terdapat efek FOMO (Takut Kehilangan Peluang) yang memicu spekulasinya. Media sosial ramai dengan pembahasan tentang keuntungan dari berinvestasi emas, cerita-cerita menggemparkan tanpa didukung oleh analisis mendalam, serta dorongan-dorongan seperti “jangan sampai tertinggal dalam membeli emas sebelum harganya mencapai dua juta rupiah per gram.” Hal tersebut bukanlah pendidikan investasi; malahan itu adalah perangkap psikologi massa.

Beberapa orang kemungkinan besar akan mengatakan bahwa harga emas cenderung meningkat seiring waktu. Apakah ini benar? Jika seseorang membeli emas di titik tertinggi harganya pada bulan September 2011 (seharga USD 1.900 per troy ounce), dibutuhkan hampir sembilan tahun agar harga kembali ke posisi itu. Selama periode sembilan tahun itu, tidak ada penghasilan sama sekali! Coba bandingkan hal ini dengan aset lain seperti saham atau surat utang yang memberikan dividen atau bunga.

Marilah kita membayangkan skenario berikutnya: Bagaimana kalau The Fed berhasil meredam inflasi secara efisien, menyebabkan dolar Amerika Serikat semakin kuat dan tingkat suku bungan riil meningkat pesar? Seperti fenomena serupa pada tahun 2013, emas mungkin sekali lagi menjadi sasaran penjualan massal. Orang-orang yang saat ini membeli ketika harganya sedang mencapai titik tertinggi akan mendapatkan kerugian selama beberapa tahun ke depan.

Berhati-hatilah, Jangan Menjadi Mangsa dari Ekstasi Ria

Sudah waktunya masyarakat untuk membuka mata dan tidak terjebak dalam kegembiraan berinvestasi di emas. Emas tak menjamin akan menjadi kaya secara instan, juga bukan pelindung mutlak dari krisis finansial.

Investasi membutuhkan pendekatan yang rasional, bukannya hanya meniru orang lain. Membagi risiko ke dalam berbagai jenis aset merupakan hal utama, daripada meletakkan seluruh harapan pada emas saja.

Peringatan dari saya, berjaga-jagalah! Jangan sampai niat “melindungi harta benda” malah menjurus ke masalah keuangan akibat kesalahan dalam pengambilan keputusan. Pahami dulu risikonya dan jangan cuma fokus pada kata-kata manis seperti “nilai emas senantiasa meningkat”. Masa lalu memiliki metode keras untuk mendidik orang-orang yang melupakan fluktuasi pasar.

Ingatlah bahwa tak segala sesuatu yang bersinar seperti emas sebenarnya adalah emas… dan bukan berarti setiap keping emas senantiasa mencolok untuk dilihat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *