Kita semua tahu quote klasik, \”Cinta itu buta.\” Tapi, guys, kalau urusan nikah, mata kita harus terbuka lebar–terutama ke rekening bank.
Maksudku, aku sayang kamu, tetapi aku tidak ingin menghabiskan seluruh hidup hanya dengan makan mi instan. Tanpa bermaksud menyinggung, kenyataannya adalah bahwa perkawinan di era modern ini bukan sekadar tentang mencapai tujuan sebagai pasangan, melainkan juga harus mempertimbangkan aspek finansialnya.
Oke, jujur saja–semua orang tentu pernah berpikir: \”Saya mencintai dia, tetapi bagaimana dengan membayar cicilan rumah nantinya?\” Atau mungkin: \”Jika upah minimum kami kedua adalah Upah Minimum Regional, apakah memungkinkan untuk menyekolahkan anak menjadi seperti penyihir keuangan di Hogwarts?\”
Di saat harga cabai selalu berfluktuasi seperti hubungan situationship, pertanyaan semacam itu memang sangat relevan.
Sebagai seorang senior yang termasuk generasi milenial he he he, topik pembicaraan saya tidak hanya terbatas pada gaya Attachment maupun Bahasa Cinta.
Saya pun mengerti bahwa tekanan finansial merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan perceraian (Dew & Xiao, 2011).
Jadi ya, selamat datang di kenyataan tentang kehidupan asmara Generasi Z: menikah itu bukan hanya masalah cinta, tetapi juga soal cuan.
Maka itu, mari kita ulas yang mendalam namun masih berhubungan ya!
1. Cinta melawan Ekonomi: Pertarungan Tak Berkesudahan dalam Rumah Tangga
Berdasarkan Teori Pertukaran Sosial (Thibaut & Kelley, 1959), manusia cenderung menghitung-hitung dalam setiap aspek hubungan—termasuk pernikahan.
Secara mendasar, kita melakukan pertukaran antara apa yang kita berikan (waktu, uang, emosi) dengan apa yang kita terima (dukungan, kegembiraan, stabilitas finansial).
Jika salah satu pihak mengalami kelebihan beban (misalkan, salah satunya pengangguran atau tingkat pengetahuan finansialnya nihil), stres pasti akan datang segera, bro!
Menurut penelitian American Psychological Association (2020), 35% pasangan yang bertengkar tentang masalah keuangan akhirnya mengalami perceraian. Wah!
2. \”We Can Struggle Together\” – Namun Berapa Sih Kekuatan yang Dibagi?
Sungguh romantis jika mengatakan, \”Selama masih ada bersamanya, makan nasi aking pun terasa enak,\” atau \”Berkasih dengan sepiring makanan.\” Namun, jujur saja, sampai kapankah kamu dapat bertahan dalam hal ini?
Teori Hierarki Kebutuhan Maslow (1943) menyatakan bahwa sebelum memikirkan pencapaian diri (seperti pasangan yang berlibur ke Bali), kebutuhan dasar harus dipenuhi terlebih dahulu — makanan, tempat tinggal, dan rasa aman.
Oleh karena itu, sebelum melakukan komitmen dengan kalimat \”Saya ingin menikahi Anda,\” pikirkan terlebih dahulu:
– Bisakah pendapatan Anda menjamin kehidupan yang nyaman?
– Apakah Anda memiliki dana darurat untuk biaya tak terduga?
– Jika berencana memiliki anak, apakah Anda sudah siap secara finansial?
Jika responsnya adalah \”Hmm…\”, bisa jadi lebih baik menunda sebentar dan sibuk mencari uang terlebih dahulu.
3. Ketidaksetiaan Keuangan: Perbuatan Ilegal Namun Membuat Kepribadian Terpukul Mentally
Pernah dengar tentang financial infidelity? Hal ini terjadi saat salah satu pasangan menyembunyikan hutang, pendapatan, atau pengeluaran besar-besaran (Bouffard, 2010). Wah, bisa membahayakan! Kepercayaan saling merusak dan perencanaan keuangan menjadi kacau.
Apa solusinya? Komunikasi yang jujur dan transparansi finansial.
– Buat budgeting bareng.
– Pembicaraan tentang tujuan finansial (DP rumah, menabung untuk bisnis, dll.)
– Tidak usah ragu untuk berkonsultasi dengan financial planner jika diperlukan.
4. Hidup Bahagia Selamanya Tapi Dengan Nuansa Kehidupan Yang Nyata
Menikah bukanlah cerita dongeng, melainkan suatu kerjasama. Tidak diperlukan kesempurnaan, tetapi kenyataan sangat penting. Kembali ke penelitian, pasangan yang sejalan dengan nilai-nilai finansial mereka memiliki kepuasan perkawinan yang lebih tinggi (Archuleta et al., 2013).
Oleh karena itu, sebelum mengatakan ya, periksa dulu:
– Anda dan pasangan setuju tentang masalah keuangan.
– Rencana untuk meningkatkan stabilitas keuangan sudah disiapkan.
– Persiapkan diri untuk berkolaborasi menghadapi naik turunnya kondisi keuangan.
Kesimpulannya: Cinta Memang Berarti Banyak, Tetapi Percakapan Tentang Uang Jangan Dibuat Terlarang.
Hei, bukan berarti kamu perlu sudah sukses secara finansial sebelum menikah. Namun, kesadaran dan persiapan adalah hal utamanya.
Maka sebaiknya Menikah atau Menabung Terlebih Dahulu? Jawapannya adalah Keduanya Boleh, Asalkan Jangan Bertindak Impulsif.
Jangan sampai hanya karena teman-teman sudah menikah kemudian kamu merasa cemas dan ingin segera mengikutinya. Atau karena rasa suka, kamu buru-buru memutuskan untuk \”bismillah nikah\” tanpa berpikir tentang konsekuensinya.
Karena pernikahan bukanlah tujuan yang romantis, melainkan sebuah lari marathon — dan kamu membutuhkan persediaan, tidak hanya emosi.
Jadi, jika Anda sedang jatuh cinta tetapi juga realistis tentang biaya kehidupan… itu berarti Anda tidak terlalu memikirkan hal-hal yang belum tentu, melainkan pikiran Anda sehat dan rasional.
Cinta mungkin dapat mengatasi segalanya, tetapi tekanan finansial bisa merusak semua itu. Oleh karena itu, mari kita buat normal untuk berbicara tentang uang sebelum upacara pernikahan.
Jadi, meskipun \”I love you\” sangat berarti, namun pertanyaan \”Apakah kita dapat mengelola keuangan bersama?\” pun perlu diajukan.
P.S.: Jika Anda membaca artikel ini dan kemudian membagikannya kepada pasangan, artinya Anda telah dewasa dalam merencanakan masa depan. Saya kagum dengan hal itu!
Referensi:
Archuleta, K. L., Grable, J. E., dan Britt, S. L. (2013). Tingkat Keberhasilan Finansial dan Hubungan sebagai Hasil dari Pendirian yang Sulit serta Tujuan dan Nilai Bersama. Journal of Financial Counseling and Planning, 24(1), 3-14.
Bouffard, S., Giglio, D., & Zheng, Z. (2022). Social media and romantic relationship: Excessive social media use leads to relationship conflicts, negative outcomes, and addiction via mediated pathways. Social Science Computer Review, 40(6), 1523-1541.
Dew, J. P., & Xiao, J. J. (2011). The financial management behavior scale: Development and validation.
Erikson, E. H. (1950). Anak dan Masyarakat. New York: W. W. Norton & Company.
Finkel, E. J., dan kawan-kawannya (2014). Perkawinan Serba Atau Tak Ada Sama Sekali: Investasi Tinggi, Hadiah Tinggi. Psikologi Inkuiri, 25(1), 1–28.
Hill, R. (1949). Families under stress: Adjustment to the crises of war separation and reunion. New York: Harper & Brothers.
Maslow, A. H. (1943). A theory of human motivation. Psychological review, 50(4), 370.
Thibaut, J. W. (2017). Psikologi Sosial dari Kelompok. Routledge.