Skip to content

Batuk dan Pilek Terus-Menerus? Penyebabnya Bukan Hanya Cuaca, Tapi Juga Es dan Makanan Manis

Batuk dan pilek berulang pada anak bukan hanya disebabkan oleh cuaca, tetapi juga gangguan kekebalan yang terkait dengan alergi makanan.


Batuk dan flu sering dirasakan ulang pada anak-anak biasanya dikaitkan dengan beberapa mitos populer seperti alergi terhadap udara dingin, partikel debu, pencemaran lingkungan, asap rokok, perubahan iklim, basah akibat hujan, penggunaan kipas angin, mengonsumsi makanan berminyak atau goreng-gorengan, minuman es, dan juga cairan manis. Meski demikian, pengetahuan medis menyatakan bahwa faktor paling dominan dalam timbulnya kondisi tersebut ialah adanya infeksi saluran nafas yang ditularkan melalui kontak dekat dengan individu lain di sekitarnya; hal ini akan semakin memperparah situasi apabila gejalanya selalu berulang.

Studi telah mendapatkan bukti kuat bahwa bayi maupun balita yang memiliki masalah fungsi sistem pertahanan tubuh mereka, baik karena sensitivitas tertentu terhadap jenis-jenis makanan tertentu, menjadi target mudah bagi virus dan bakteri untuk mencetuskan penyakit-penyakit lagi dan lagi. Dalam artikel ini kami menjelajahi bagaimana interaksi antara intoleransi makanan, respons imunitas, serta frekuensi tinggi insiden infeksi saluran nafas didiskusikan atas dasar hasil analisis ilmiah serta data-data dari publikasi Postepy Dermatol Alergol (2016). Publikasi tersebut memberitahu kita tentang bahaya alergi terhadap laktoglobin-α sehingga bisa membuat risiko seseorang mengidap infeksi paru-paru berkali-kali bertambah tiga sampai empat kali dibandingkan kelompok populasi normal ketika si pasien masih berada dalam fase awal perkembangan yaitu kurang dari dua tahun usiaannya.

Dalam lingkungan sosial, batuk dan flu pada anak-anak kerap dianggap sebagai situasi sederhana yang dipicu oleh hal-hal seperti perubahan iklim atau pola hidup, misalnya terkena hujan atau konsumsi makanan berminyak. Karena itu, sebagian besar orangtua cenderung meremehkan atau memiliki pemahaman keliru tentang aspek utama dari masalah ini. Sebenarnya, batuk dan pilek yang kambuhan tanpa penanganan efektif dapat menunjukkan ada gangguan sistem imun atau pun faktor-faktor pencetus lain yang jauh lebih rumit.

Salah satu faktor yang semakin banyak dipelajari belakangan ini berkaitan dengan koneksi antara alergi makanan dan gangguan pernapasan berkelanjutan. Masalah pada sistem pertahanan tubuh yang ada di saluran pencernaan—sebagai komponen utama dari sistem kekebalan sebesar 80%—memainkan peran besar dalam menetapkan tingkat rentabilitas anak terhadap serangan penyakit. Oleh karena itu, pengertian luas tentang cara kerja tersebut amatlah diperlukan untuk upaya pencegahan serta tindakan jangka panjang. Ketika jenis makanan yang bisa memicu alergi dikurangi konsumsinya, fungsi pencernaan meningkat sehingga daya tahan tubuh juga bertambah; akibatnya, saat terserang flu biasa atau pilek, gejalanya menjadi lebih ringan bagi si anak.

Bukan debu, melainkan asap rokok dan polusi

Infeksi saluran pernapasan berulang pada anak dengan riwayat alergi makanan kerapkali disalahartikan sebagai akibat dari debu, asap rokok, atau polusi. Namun sebenarnya, anak-anak ini cenderung mengalami batuk serta hidung tersumbat di pagi dan sore hari sementara gejalanya mereda di tengah hari. Debu, polusi, dan asap rokok justru umumnya hadir ketika waktu-waktu itu tiba. Meski begitu, faktor-faktor seperti asap rokok, suhu udara rendah, debu, polusi, bahkan cuaca dingin bisa memperburuk kondisi saat mereka sedang mengidap infeksi ulangan. Jika paparan asap rokok menjadi rutinitas harian maka hal tersebut dapat semakin menyuburkan situasi yang sudah buruk. Ketika ancaman alergi makanan berhasil diminimalisir, sistem imunitas pun meningkat sehingga respons terhadap penyakit flu juga relatif lebih lemah dan minim dampak negatif lainnya.

Gejala dan Tandanya Infeksi Pernapasan yang Kambuh

Infeksi pernapasan berkelanjutan pada anak-anak ditandai dengan batuk dan flu melebihi enam kali dalam satu tahun, umumnya didampingi oleh demam rendah, hidung tersumbat, bersin-bersin, dan sensasi tak nyaman di area tenggorokan, tubuh terasa letih atau lesu, mudah merengek untuk dipelukan. Gejala tersebut bisa bertahan lebih lama dibandingkan kondisi normal dan cenderung timbul lagi hanya sesaat setelah pemulihan. Di samping itu, sebagian besar anak juga menunjukkan gejala-gejala seperti kesulitan tidur, masalah saat makan, hingga keletihan yang berkepanjangan karena adanya infeksi yang secara berkala datang kembali.

Gejala tambahan meliputi masalah pernapasan seperti bernapas dengan suara berbunyi (mengi), sesak nafas ringan, serta batuk persisten terutama di malam hari. Jika ada infeksi yang sering kembali dan bertambah parah, dapat meningkatkan risiko adanya pembesaran kelenjar getah bening pada leher, bronkitis, bronkopneumonia, demam tinggi, leukosit tinggi, amandel besar, infeksi telinga, tonsilitis, atau sindrom sinusal. Anak-anak yang memiliki predisposisi asma mungkin akan lebih rentan terhadap perkembangan asma atau kondisi pernapasan jangka panjang bila tidak mendapatkan penanganan awal. Selain itu, orangtua harus tetap waspada ketika anak tampak lesu secara konstan atau mengalamai hambatan dalam proses tumbuh-kembang mereka.

Anak-anak yang kerap jatuh sakit secara berkelanjutan umumnya memerlukan perawatan rutin, memiliki masalah dengan pola tidur mereka, kesulitan dalam proses makan, serta pertambahan berat badan yang lambat. Mereka juga cenderung menjadi sangat aktif, menunjukkan kadar stres atau emosi yang tinggi, menghadapi tantangan pada suasana hatinya, kurang fokus, dan tampil dengan perilaku-perilaku ekstra. Jika bayi-bayi tersebut memiliki bobot tubuh yang susah untuk bertambah, peningkatan ukuran kelenjar getah bening di leher, dan gambaran X-ray yang mencerminkan kabut sehingga diduga sebagai TBC namun ternyata tidak demikian; hal semacam itu dapat menyebabkan diagnosis keliru atas penyakit TBC. Oleh karena itu, jika diberikan diagnosa positif TBC akan lebih baik apabila dilakukan pemeriksaan kedua oleh dokter lain ketika si anak tampak memiliki gejala-gejala alergi.

Gejala mirip kerap muncul pada para lansia tinggal bersama-sama dengan mereka yang selalu merasakan gejala flu secara berkala, keluhan otot, rasa tidak nyaman di bagian punggung dan kaki, migrain, serta peradangan tenggorokan persisten. Ini dapat menandai bahwa kondisi lingkungan dalam rumah memicu penyebaran penyakit kepada buah hati Anda, lebih-lebih bila daya tahan tubuh sang anak sedang lemah.

Faktor Penyebab Ketahanan Tubuh Lemah serta Pengaruh Alergi Terhadap Makanan

Kekuatan sistem pertahanan dalam tubuh bisa terganggu karena beberapa hal seperti infeksi ulang, kurangnya asupan gizi, tekanan dari sekitar, serta masalah pada sistem kekebalan. Salah satu pemicunya yang kerap luput dari pengamatan adalah adanya intoleransi makanan yang menciptakan ketidaknyamanan di saluran pencernaan, ini pun ikut melemahkan fungsi sistem kekebalan badan. Saat usus bermasalah atau meradang dikarenakan respons negatif terhadap suatu jenis makanan, pembentukan sel-sel perlindungan tubuh akan berkurang.

Disfungsi intoleransi gastrointestinal atau alergi gastrointestinal biasanya bersifat ringan dan dipersepsikan sebagai hal yang normal. Gejala-gejalanya termasuk sering merasa pusing, muntah, sindrom refluks gastroesofageal (GERD), susah buang air besar, sakit perut, ingin defekasi tetapi gagal, tidur dalam posisi membungkuk, serta mudah mengalami diare, bibir kering, dan mulut berbau. Pada kondisi alergi tambahan ini dapat ditandai dengan batuk keraton, flu, bernafas melalui mulut, sumbatan pada saluran hidung, mimisan, mendengkur, kesulitan bernapas, asma, dermatitis atopik, urtikaria, kulit kaki tampak seperti bekas gigitan nyamuk, garukan-garukkan mata dan telinga akibat rasa gatal.

Studi mengungkapkan bahwa 80% sistem imun kita terbentuk di dalam saluran pencernaan. Oleh karena itu, apabila fungsi pencernaan bermasalah, tubuh akan lebih rawan terhadap berbagai jenis infeksi. Pada anak-anak yang memiliki alergi makanan, biasanya ditandai dengan timbulnya gejala-gejala pada saluran cerna seperti diare, sembelit, muntah, kram perut, atau asam lambung naik. Hal tersebut dapat melemahkan pertahanan tubuh, menyebabkan mereka lebih gampang terserang flu dan penyakit-penyakit infeksi lain dari sekeliling mereka.

Studi yang dilakukan oleh Woicka-Kolejwa dkk. (Postepy Dermatol Alergol, 2016) menyatakan bahwa di antara 280 anak dengan alergi makanan, sebanyak 54,6% mengidap infeksi pernapasan secara berulang. Sensitisasi terhadap -laktoglobulin (protein dalam susu sapi) dapat meningkatkan risiko infeksi hingga mendekati empat kali lebih besar bagi anak-anak berusia 1-2 tahun. Penelitian ini pun semakin meyakinkan kita tentang fakta bahwa kondisi alergi makanan tidak cuma merugikan kesehatan kulit dan sistem pencernaan, namun juga memperlemah pertahanan tubuh melawan serangan penyakit.

Pengelolaan dan Perawatan yang Sesuai

Pengobatan batuk dan flu yang sering kali tak kunjung sembuh bukan cuma tentang memberikan suplemen vitamin, vaksin influenza, atau mengontrol pola makan seimbang. Hal utama lainnya adalah melakukan penilaian atas potensi adanya intoleransi makanan tersembunyi yang dapat mempengaruhi pencernaan serta kekebalan tubuh. Hasil tes alergi di lab belum tentu tepat, karena masih ada banyak kasus sensitivitas makanan yang luput dideteksi lewat antibodi IgE. Sebab itu, teknik tantangan makanan lisan (oral food challenge/OFC) tetap jadi cara primadona dalam mendapatkan diagnosa pasti akan alergi makanan.

Apabila alergi makanan yang menjadi sumber infeksi berulang telah terdeteksi dan pemicunya dielakkan, maka tanda-tandanya bisa diperkecil dengan signifikan. Peningkatan fungsi usus akan membantu memperkokoh sistem imun si anak secara natural, menurunkan penggunaan obat antibiotik dan kunjungan dokter berkali-kali, sekaligus meningkatkan kesejahteraan sang buah hati dan keluarganya.

Kesimpulan

Batuk dan flu yang kambuh bukan disebabkan secara langsung oleh cuaca atau konsumsi makanan sejuk, melainkan umumnya dipicu oleh infeksi berkelanjutan akibat daya tahan tubuh yang rendah. Masalah dengan sistem pertahanan tubuh ini, di banyak situasi, bermula dari ketidaksesuaian alergi terhadap makanan yang mengganggu saluran pencernaan, area dimana produksi perlindungan bagi anak-anak paling aktif. Pengobatan yang hanya menumpukan penanganan gejalanya saja tanpa menyembuhkan sumber masalah dapat menjadikan pola infeksi semakin sulit untuk dihentikan.

Sangat penting bagi orangtua dan profesional kesehatan untuk mengakui potensi alergi makanan sebagai faktor pemicu masalah imunitas pada anak-anak. Melalui penilaian komprehensif serta menggunakan terapi yang didukung oleh bukti ilmiah seperti tes tantangan makanan lisan, daya tahan tubuh si anak bisa dipertahankan dengan cara yang alami, menekan risiko infeksi ulang secara konstan.

Daftar Pustaka

Koletar WA, Zaseniuk M, Majak P, dan lainnya. Gangguan alergi makanan terkait dengan infeksi saluran pernapasan berulang selama masa kanak-kanak. Postepy Dermatol Alergol. 16 Mei 2016; Vol 33 No 2: hlm 109–113. DOI:10.5114/ada.2016.59151. Nomor Publikasi Medis: 27279819; Penyimpanan Pubmed: PMC4884778.

Sicherer SH, Sampson HA. Alergi makanan: epidemiologi, patogenesis, diagnosa, dan pengobatan. Jurnal Imunologi Alergi Klinis. Februari 2014; Edisi 133 nomor 2: halaman 291–307. DOI:10.1016/j.jaci.2013.11.020

Venter C, Meyer R. Sesi 1: penyakit alergi: tantangan dalam mengelola hipersensitivitas makanan. Prosiding Society Gizi. Januari 2010; Volume 69 edisi 1: halaman 11–24. DOI:10.1017/S0029665109991754

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *