Setiap orang pasti mengharapkan bahwa keluarganya, temannya, serta orang-orang di sekitarnya selalu dalam keadaan baik dan tidak pernah merasakan keterbatasan apapun.
Meskipun begitu, tak seorang pun bisa memastikan tentang jalannya kehidupan di masa depan, terutama mengenai kondisi kesehatan.
Ternyata, orang yang biasanya senang diajak ngobrol dan sering membuatmu tertawa lepas ini justru diidapkan diagnosis penyakit berat atau menderita penyakit kronis?
Rasanya terkejut tersebut sempat dialami oleh Tria. Dia tidak memiliki sedikit pun dugaan bahwa temannya mengalami penyakit serius.
“Awalnya
chat
Seperti biasanya, lalu ia berkata bahwa ada hal yang ingin disampaikan,” ujar Tria saat mengingat kembali.
Pada waktu tersebut, dia menyatakan tidak memikirkannya secara mendalam tentang keadaan kawannya yang sebenarnya ceria, gemar bergurau, dan menjalani hidup tanpa banyak masalah.
“Saya jujur saja sangat surprised mendengar ceritanya. Sempat tidak percaya. Rasanya ikut sedih, tetapi saya juga kebingungan saat harus membalasnya,” ungkap Tria.
Kebingunan dalam bertindak pada akhirnya menyebabkan sebagian orang lebih memilih untuk tetap sunyi ketika mendengar tentang penderitaan yang dialami oleh kerabat dekat mereka.
Alasannya mengapa kita gagal menangani kisah pasien yang sedang sakit tersebut telah diulas dalam studi oleh Gill Hubbard dan Claire Wakefield.
Mereka menulis di
The Conversation
Pada tahun 2017, tampaknya masyarakat kita mengabaikan adanya penyakit sebagai sebuah realitas yang dialami oleh banyak keluarga—sambil menjadi bagian dari kondisi kemanusiaan.
“Penyakit berat dan kronis menjadi lebih lumrah. Di suatu titik, hampir separuh dari kita akan merasakan gangguan kesehatan yang parah, sementara itu satu di antara lima individu akan menderita dua jenis penyakit berat atau lebih secara bersamaan,” begitu disampaikan dalam sebuah artikel.
Meskipun ada banyak cara berbeda untuk menanggapinya, respons terhadap seseorang yang sedang sakit yang paling menjengkelkan adalah jika kita hanya diam tanpa meminta kabar tentang keadaannya.
Seperti yang dikemukakan sebelumnya oleh psikoterapis asal Victoria, Australia bernama Sophie Boord, seperti yang dirilis dari sumber tersebut.
The Guardian
.
Menurut Boord, orang yang sedang sakit cenderung merasakan bahwa teman atau keluarga mereka kurang memahami keadaannya dan mungkin bahkan tidak peduli dengannya.
Pandangan tersebut pula yang akhirnya menyebabkan orang yang sedang sakit ragu-ragu dalam mengungkapkan kondisi kesehatan mereka.
Namun demikian, ketidak mauan seseorang untuk membuka diri tentang kondisi kesehatannya mungkin disebabkan oleh rasa khawatir yang timbul dari kemungkinan dianggap sebagai pribadi yanglemah atau suka merengek.
Di samping itu, orang-orang yang memilih menyembunyikan penderitaannya mungkin takut akan dimaki-maki atau dinilai negatif karena terkena penyakit tertentu.
Sebagai contoh, mengenai stigmatisasi yang dihadapi oleh pasien serta keluarganya ketika menderita kanker paru-paru, penyakit berhubungan dengan kegemukan, atau masalah psikologis.
Berdasarkan informasi yang dikumpulkan oleh Hubbard dan Wakefield, antara satu per empat sampai satu pertiga individu yang mengidap kondisi medis berat memilih untuk merahasiakan diagnosis mereka dari kolega kerja serta anggota keluarga dan sahabat.
Angka-angka itu menjadi semakin mengkhawatirkan ketika kita membicarakan tentang kondisi kesehatan mental. Berdasarkan sebuah studi yang berbeda, hampir tiga perempat individu cenderung menyimpan rahasia terkait gangguan kejiwaannya dari sesama pekerja atau saudara sebangku di sekolahnya.
Maka, jenis dukungan apakah yang bisa kita tawarkan tanpa menyebabkan penderita merasa dituding? Hal-hal apa sajakah yang harus kita pertimbangkan dengan cermat sebelum berbicara pada seseorang yang sedang sakit?
Bruce Feiler, penulis buku
The Quest: Menemukan Pekerjaan Berarti di Dunia Pasca-Karir
(2023), dalam artikelnya di
Psychology Today
saya tidak menyarankan pertanyaan semacam itu, yaitu “Bagaimana saya dapat mendukungmu?”
Menurut Feiler, walaupun tampaknya jujur dan peduli, pertanyaan itu sebenarnya membebani lagi orang-orang yang sedang sakit. Mereka mungkin merasa frustasi ketika selalu diajak bicara dan ditekankan soal hal-hal yang tak dapat mereka lakukan sendiri dan akhirnya memerlukan bantuan.
Sebab lainnya ialah mereka ragu untuk mengaku bahwa mereka butuh pertolongan, oleh karena itu sebenarnya mereka malas menyampaikan kebutuhan mereka.
Di samping itu, frasa yang kelihatan meyakinkan—”Semuanya bakal baik-baik saja!”—juga kurang sesuai untuk diucapkan.
Feiler kembali menyatakan bahwa ujungnya kalimat itu hanya menjadi sebuah slogans umum untuk menenangkan orang yang tengah menghadapi kesulitan.
Lebih dari itu, tak seorang pun memahami masa depan; karenanya, ungkapan tersebut sering kali kurang tulus dan bertujuan hanya untuk memberi rasa nyaman pada orang yang berbicara.
Pernyataan membangkitkan semangat seperti “Kau terlihat sangat sehat!” juga harus ditilik dengan hati-hati.
Faktanya, kata-kata penyemangat itu mungkin tak cocok untuk kondisi pasien tertentu, seperti mereka yang tetap merasa lesu, memiliki memar di seluruh tubuh, atau badan mereka masih terpasang dengan berbagai alat medis.
Letty Cottin Pogrebin, penulis
Bagaimana Menjadi Teman bagi Seorang Teman yang Sedang Sakit
(2013), seorang juga penyintas kanker payudara, mengingat dengan jelas berbagai macam respon dari teman-temannya saat mengetahui ia sedang sakit.
Teman-teman memiliki respon bervariasi; beberapa merasa tidak yakin tentang kebutuhan mereka sendiri jadi terlihat sungkan, sementara sebagian lainnya mampu memberikan dukungan secara efektif serta dengan perasaan belas kasihan.
Pogrebin
menyarankan
beberapa frasa yang dianggap cukup untuk mengungkapkan rasa simpati serta pentingnya kedatangan bagi seseorang yang sedang sakit sebagai berikut.
Sebagai contoh, ungkapkanlah kesediaanmu untuk berada di pihak mereka dengan menyatakan frasa seperti, “Aku akan selalu tersedia saat kamu ingin bicara, oke!”
Menunjukkan kesadaran terhadap kondisi keluarga yang sedang mengalami penyakit sangatlah krusial. Apabila sahabat Anda yang sakit tersebut mempunyai buah hati di bawah umur, Anda dapat mendukungnya dengan cara berkata, “Pasti ada banyak hal yang harus Kamu atasi.”
me time.
Esok hari adalah Sabtu, kamu boleh mengajak anak-anakmu untuk bermain di luar dahulu, oke!
Rhonawan dari Mayo Clinic, Natasha Dachos, LMSW
mengingatkan
kita perlu menganggap orang yang sedang sakit di hadapan kita sebagai individu yang lengkap.
“Mereka mungkin memiliki status seperti ibu, ayah, anak, guru, atau seseorang yang suka lari — tetapi pada dasarnya mereka adalah manusia lengkap dengan semua kompleksitas yang melekat padanya,” kata Dachos.
Saat mereka jatuh sakit, umumnya kita cenderung lebih terfokus pada kondisi kesehatan mereka. Namun menurut Dachos, penyakit hanyalah salah satu elemen dalam keseluruhan aspek kehidupan mereka yang menyatu.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk peka dan mengerti terkait penyakit serta tahap pemulihan yang sedang dihadapi oleh orang tersebut. Periksa dengan pasti, apakah mereka berkeinginan untuk mendiskusikan keadaan kesehatan mereka, atau justru lebih cenderung membincangkan hal-hal lain dalam hidupnya.
Dachos pun menekankan untuk tidak menyampaikan saran tanpa diundang, atau dengan kata lain
unsolicited advice
.
Penderita penyakit seringkali dibanjiri dengan saran-saran mengenai cara merawat diri serta memilih pola hidup sehat. Walaupun tujuannya adalah untuk kebaikan, pendapat ini mungkin saja menyebabkan rasa tak nyaman pada pasien, atau bisa juga terkesan sebagai tuduhan bagi mereka.
Penyakit-penyakit yang bersifat kronis atau kritis bisa menyerang siapapun tanpa melihat umur, status ekonomi, tingkat pendidikan, ataupun jenis pekerjaan.
Saat sahabat atau anggota keluarga menghadapi ujian itu, apa yang mereka khawatirkan paling banyak adalah perasaan lemah dan terisolasi.
Kehadiran dan perhatiamu sangat berarti untuk memperkuat mereka.