Penggundulan hutan merupakan salah satu masalah lingkungan utama yang dihadapi oleh Indonesia. Sebagai provinsi dengan area lindung tropis terluas di Pulau Jawa—mencapai sekitar 1.361.146 hektar sesuai catatan dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 395/Menhut-II/2011—situasi kawasan hutan di wilayah Jawa Timur dapat dikatakan telah menunjukkan penurunan baik jumlah maupun derajat kelestarian secara substansial selama sepuluh tahun belakangan ini.
Jika kita melihat data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dari tahun 2013 sampai dengan 2023, area hutan di Jawa Timur terus mengalami penggundulan kecuali untuk periode antara tahun 2015-2016, 2016-2017, serta 2019-2020. Deforestasinya dapat direncakan sebagai berikut: selama tahun 2013-2014 mencapai angka 5.452,2 hektare, kemudian menurun menjadi 3.621,0 hektare pada tahun 2014-2015, naik lagi menjadi 3.298,6 hektare pada tahun 2017-2018, lalu meningkat signifikan menjadi 5.066,4 hektare saat tahun 2018-2019, turun drastis hanya menjadi 85 hektare pada tahun 2020-2021, dan akhirnya jatuh lebih rendah lagi menjadi 19,4 hektare dalam rentang waktu 2021-2022.
Tentu saja, data tersebut memperlihatkan bahwa meskipun ada deforestasi di Jawa Timur, jumlahnya justru semakin berkurang setiap tahunnya. Namun, jika kita merujuk pada pantauan yang dikerjakan oleh Global Forest Watch—yang menyortir status hutan menjadi hutan primer dan hutan sekunder, serta menggunakan periode waktu yang lebih lama—keadaannya menunjukkan adanya kerusakan besar pada kawasan hutan di Jawa Timur.
Global Forest Watch melaporkan bahwa pada tahun 2001, Jawa Timur mempunyai 232 ribu hektare (kha) hutan primer yang menutupi 4,8% luas wilayahnya. Pada tahun 2023, terjadi penurunan menjadi 189 hektar hutan primer, menghasilkan emisi sekitar 125 kiloton karbon dioksida (CO2). Selain itu, antara tahun 2002 dan 2023, Jawa Timur merugi sebanyak 10,7 kha hutan primer lembab yang berkontribusi sebesar 11% dalam total kerugian vegetasi.
Meskipun begitu, Global Forest Watch menyebutkan bahwa mayoritas kerugian hutan primer di Indonesia terjadi di area yang dinyatakan pemerintah sebagai hutan sekunder atau penggunaan lahan lainnya, termasuk ladang kering bergantian, hutan tanaman keras, serta jenis-jenis lahan tersebut. Oleh karena itu, Global Forest Watch dengan tegas mengungkapkan bahwa data mereka tentang deforestasi hutan primer di Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan dengan data resmi dari Pemerintah Indonesia.
Berikut penjelasannya: Hutan primer merupakan hutan yang tetap utuh tanpa campur tangan manusia. Sementara itu, hutan sekunder sudah pernah terpengaruh oleh kegiatan seperti menebang pohon atau merusak lahan akibat intervensi manusia.
Kebakaran Hutan dan Lahan
Setelah menimbang kedua sumber informasi tersebut, persoalan penghapusan hutan di Jawa Timur tidak bisa disepelekan. Seperti ditekankan oleh Direktur Eksekutif Walhi Jatim, Wahyu Eka Setyawan, bahwa peran hutan sangat penting dalam upaya mencegah bencana alam seperti tanah longsor atau banjir. Oleh karena itu, jika hutan mengalami kerusakan akibat deforestasi, risiko kejadian ini menjadi lebih tinggi.
“Akhirnya, kapabilitas pendukung dan penerimaan wilayah pasti berkurang, bahkan daerah dengan kerusakan hutan semakin rawan. Frekuensi bencana pun bertambah, seperti halnya banjir dan tanah longsor. Tambahan lagi, hilangnya hutan mempengaruhi keselamatan sumber-sumber air. Di antara sekitar seratus sumber air di Jawa Timur, empat puluh persen menghadapi situasi yang tidak aman,” jelas Wahyu saat ditemui oleh kontributor Tirto pada hari Senin (14/4/2025).
Wahyu juga menegaskan bahwa deforestasi di hutan Jawa Timur tidak terjadi begitu saja. Menurutnya, karhutla adalah faktor utama yang mendasari penurunan jumlah dan kondisi hutan di wilayah tersebut. Selain itu, Wahyu mencatat ada sekitar 13 daerah atau kabupaten yang berstatus siaga karhutla yaitu Situbondo, Bondowoso, Probolinggo, Bojonegoro, Tuban, Mojokerto, Kota Batu, Ponorogo, Nganjuk, Kediri, Ngawi, Lumajang, sampai dengan Pasuruan.
Pernyataan Wahyu tentang dampak karhutla terhadap deforestasi tidak hanya khayalan semata. Menurut data dari sistem pemantauan karhutla yang dimiliki oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, kebakaran hutan di Jawa Timur benar-benar dapat disebut sebagai cukup parah.
Menurut
data
Kementerian melaporkan bahwa kebakaran hutan dan lahan menyebabkan kerugian seluas 8.886,39 hektar di tahun 2018, yang kemudian naik secara signifikan mencapai 23.655,00 hektar pada tahun 2019. Pada tahun berikutnya, luasan penyebarannya menurun menjadi 19.148,00 hektar untuk tahun 2020, lalu mengalami penurunan lebih lanjut menjadi 15.458,00 hektar pada tahun 2021. Akan tetapi, angka tersebut jatuh dengan tajam menjadi hanya 2.380,00 hektar pada tahun 2022, namun situasi memburuk kembali dengan lonjakan besar menjadi 49.498,32 hektar pada tahun 2023.
Di tahun 2023, luasan lahan yang terbakar di Jawa Timur melebihi Jawa Tengah, contohnya, yang hanya mengalami dampak sebesar 9.965,59 hektar.
Menurut Wahyu, kebakaran hutan dan lahan yang cukup parah di Jawa Timur disebabkan oleh peningkatan signifikan dalam temperatur permukaan bumi atau biasa diketahui sebagai krisis iklim. Krisis iklim ini mendorong terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Oleh karena itu, tambah Wahyu, masalah krisis iklim merupakan ancaman serius yang tidak bisa diremehkan.
” Salah satu penyebab penggundulan hutan adalah adanya masalah perubahan iklim. Masalah tersebut meliputi cuaca sangat panas dengan peningkatan suhu permukaan dan angin kemarau. Ini menjadi lebih buruk selama periode El Nino yang intensitasnya bertambah karena perubahan iklim. Akibatnya, sejumlah besar hutan di Jawa Timur mengalami kebakaran, seperti halnya Situbondo dan gunung Arjuno Welirang yang letaknya ada di area antara Kota Batu-Kabupaten Pasuruan pada tahun 2022 dan 2023,” jelasnya.
Klaim Wahyu itu berdasarkan peringatan para ahli, khususnya mereka yang terlibat dalam Grup Kerja Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC). Mereka menyatakan bahwa hingga tahun 2023, temperatur global sudah meningkat sebesar 1,15 derajat Celsius dan diperkirakan bakal melebihi 2 derajat Celsius di tahun 2050. Di sisi lain, untuk kasus Indonesia, pertambahan ini mendekati nilai 1,3 sampai 1,4 derajat Celsius.
Wahyu dan timnya melaksanakan riset mandiri dengan menggunakan aplikasi pengawasan temperatur serta pencatatan cuaca sehari-hari. Hasil temuan mereka mengungkapkan kenaikan rata-rata temperature harian dari 25,62 derajat Celsius di periode 1901-2010 naik ke 26 derajat Celsius dalam rentang waktu 2010 sampai 2022. Selain itu, ada pertambahan signifikan pula pada titik tertinggi suhu maksimal, yaitu meningkat dari antara 30 hingga 31 derajat Celsius selama 2000-2010 menjadi berkisar 34 hingga 36 derajat Celsius untuk jeda tahun 2010-2023.
Pada saat yang sama, Peneliti Senior di Pusat Sumber Daya Agraria (ARC), Dianto Bachriadi, berpendapat bahwa kebakaran hutan dan lahan (karhutla) benar-benar mampu menyebabkan hilangnya hutan di wilayah Jawa Timur. Meskipun demikian, dia tidak yakin jika fenomena ini hanya disebabkan oleh perubahan iklim saja. Menurut Dianto, alasan utamanya adalah tindakan manusia yang membuat karhutla bisa terjadi.
“Peningkatan suhu tersebut tidak secara langsung menyebabkan tanah tertentu, apalagi area hutan tropis atau lembap, menjadi mudah terbakar. Terlebih lagi jika wilayah-wilayah ini tidak memiliki tutupan vegetasi padat semacam itu, contohnya di dekat kawasan Taman Nasional Tengger dan Gunung Semeru. Area sabana tentunya akan menghadapi kondisi kekeringan yang parah selama periode kemarau yang berkepanjangan atau peningkatan temperatur dari normal. Namun, hal ini hanya merujuk kepada kekeringan; pembakaran hutan biasanya disebabkan oleh tingkah laku manusia yang acuh dengan risiko lingkungan mereka dapat cepat terbakar,” jelaskan Dianto dalam wawancara telepon dengan Tirto pada hari Kamis (17/4/2025).
Pada kasus tertentu, dia memberikan contoh tentang kebakaran di Taman Nasional Bromo yang merenggut lebih kurang 50 hektar area pada tahun 2023 lalu. Kebakaran itu dipicu oleh flare serta asap buatan para fotografer demi mendapatkan gambar dengan tampilan artistik. Berdasarkan kondisi tersebut, Dianto menyatakan perlunya pembuatan regulasi oleh pihak pemerintahan sebagai upaya dalam membatasi perilaku manusia yang dapat membawa risiko terjadinya kebakaran hutan.
“Oleh karena itu, kembali lagi pokok pembicaraannya adalah tentang bagaimana adanya sejumlah langkah-langkah atau keputusan-keputusan tertentu mampu mengurangi risiko perilaku-perilaku manusia, entah sengaja ataupun tidak sengaja, yang memiliki potensi memicu api atau bencana kebakaran,” jelasnya.
Melihat situasi itu, Pemerintah Provinsi Jawa Timur telah memberi peringatan tentang persoalan kebakaran hutan dan lahan. Peringatan ini diberikan oleh Plt. Gubernur Jawa Timur Adhy Karyono saat ia mengawali Apel Siaga Bersama Kontrol Kebakaran Hutan dan Lahan di Lapangan Desa Trawas, Kabupaten Mojokerto pada hari Selasa (23/7/2024).
Pada pidatonya, dia meminta semua warga untuk meningkatkan upaya penanganan karhutla dengan cara melakukan patroli preventif, edukasi, sosialisasi, serta kampanye.
“Selain itu, hal yang tidak kalah penting adalah melakukan pemeriksaan berkala untuk mendeteksikan awal karhutla dengan menggunakan aplikasi SiPongi serta memerhatikan prakiraan cuaca dari BMKG. Dengan begitu, tindakan penanganan karhutla dapat dijalankan secara akurat dan efisien,” imbuhnya seperti ditulis pada situs web resmi Pemprov Jatim.
Alih Fungsi Hutan
Namun, Wahyu tidak hanya menyalakan api kebakaran hutan akibat karhutla sebagai satu-satunya masalah di Jawa Timur. Ia menyatakan bahwa perubahan penggunaan lahan dari hutan untuk tambang juga berperan dalam deforestasi yang terjadi di sana.
“Alasan lain terjadinya penggundulan hutan adalah perubahan fungsionalitas lahan hutan, dimana korporasi menebang pohon-pohon tersebut untuk tujuan ekonomi, seperti contohnya penambangan,” jelas Wahyu.
Pernyataan Wahyu tidak datang tanpa dukungan bukti. Di tahun 2016, dia bersama dengan kelompok kerjanya mendokumentasikan bahwa terdapat kurang lebih 3.983 hektare area hutan yang digunakan untuk kegiatan penambangan. Jumlah ini jauh dilampaui oleh lahan hutan yang rusak, yaitu sebesar dua ratus kali lipat atau setara dengan sekitar 608.913 hektar.
Tentu saja, sesuai dengan pendapat Wahyu, Jawa Timur merupakan salah satu propinsi yang mempunyai banyak industri ekstraktif seperti pertambangan. Jenis usaha tersebut tersebar di seluruh penjuru Jawa Timur, mulai dari Pantai Utara Jawa, Pantai Selatan Jawa, sampai ke wilayah perhutanan.
Pada Laporan Akhir Tahun 2018, Wahyu serta timnya sempat mencatatkan total izin usaha pertambangan (IUP), yang merujuk kepada statistik dari Dinas Energi Sumber Daya Mineral Provinsi Jawa Timur. Pada tahun 2012 tercatat ada 378 IUP, angka tersebut menurun menjadi 347 IUP di tahun 2016. Selanjutnya, jumlah itu naik ke 379 IUP pada tahun 2017, namun kembali berkurang hingga menjadi 376 IUP pada tahun 2018.
Mereka pun mengamati bahwa di tahun 2018, terdapat kurang lebih 37 kegiatan penambangan yang melintasi atau tepat berada di batas area hutan. Meskipun begitu, baru 14 perusahaan tambang saja yang mempunyai Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH).
Kehadiran aktifitas pertambangan dalam area hutan tersebut sesungguhnya bukan hal yang aneh jika kita merujuk kepada Rancangan Zonasi Wilayah yang sudah dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Di dalam Perda tentang Rancangan Zonasi Wilayah (RZWPJ) Propinsi periode tahun 2011 sampai dengan 2031, bagian I Kriteria Umum Pasal 1 Nomor 48 menyatakan bahwa “wilayah destinasi untuk pertambangan adalah daerah yang mempunyai bentuk potensial dari sumberdaya mineral fisik seperti padat, cair, atau gas berdasar petunjuk/geologi dan menjadi lokasi pelaksanaan sebagian atau keseluruhan tahapan usaha pertambangan mencakup riset, investigasi awam, ekspolorasi, proses produksi/pemanfaatan dan setelah tambang, entah itu di dataran ataupun air laut, juga tanpa batas atas jenis pemakaian lahan, baik zona budidaya maupun zonasi perlindungan.”
Peraturan RTRW terbaru masih mempertahankan isi dasarnya seperti aturan sebelumnya yaitu dalam Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur No. 10 tahun 2023 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Timur periode 2023-2043 Pasal 1 bab Keterangan Umum angka 86 yang mendefinisikan “Kawasan Pertambangan dan Energi sebagai area yang kaya akan cadangan sumberdaya mineral dan menjadi lokasi untuk melakukan aktivitas pertambangan di wilayah darat ataupun laut termasuk bentuk padat, cair, hingga gas sesuai dengan data/peta geologi; ini mencakup semua fase dari proses pertambangan mulai dari riset awal, survei publik, eksploitasi, produksi/ekploitasinya, sampai pemantauan pascatambang, tanpa batasan atas jenis penggunaan lahan, entah itu Kawasan Budidaya atau Kawasan Terlindungi.”
Menjawab aturan itu, Dianto menyebutkan bahwa penebasan dan penggundulan hutan demi kegiatan penambangan bakal berlanjut dengan intensif. Hal ini pada akhirnya dapat merugikan karena banyak hasil alam hutan bernilai ekonomi tinggi akan musnah.
“Sekalipun demikikan, secara materiil deforestasi pastinya memberikan pengaruh besar terhadap situasi ekonomi penduduk setempat. Ini mencakup hilangnya sumber daya seperti kayu, produk hutan non-kayu, biodiversitas, serta hal-hal lain yang dapat dihitung dalam aspek ekonomi,” jelas Dianto.
Belum termasuk hal itu, tambah Dianto, kegiatan penambangan juga membuat area hutan menjadi rawan terhadap bencana seperti banjir atau tanah longsor. Ini pada akhirnya akan mempengaruhi kerugian finansial bagi warga setempat.
“Tentu saja, dampak dari bencana-bencana tersebut sungguh signifikan. Kehilangan finansial yang cukup berarti bagi ekonomi baik secara regional maupun pada tingkat keluarga yang termasuk dalam area tersebut, khususnya mereka yang mengalaminya secara langsung. Jumlah kerusakan akibat bencana ini jika dihitung pasti mencapai angka yang sangat besar. Apalagi ditambah dengan biaya tambahan yang dibutuhkan untuk proses pemulihan,” jelas Dianto.
Dua Opsi untuk Pemerintah Provinsi Jawa Timur
Sesungguhnya, Pemerintah Provinsi Jawa Timur telah menerapkan langkah-langkah untuk mengatasi permasalahan penebangan hutan. Langkah ini direalisasikan lewat kebijakan FOLU (Forestry and Other Land Use of Indonesia) Net Sink 2030 dengan empat taktik inti yaitu pelestarian dan manajemen hutan secara berkelanjutan, proteksi serta pemulihan lahan rawa, meningkatkan penyerapan karbon, dan juga mencegah pembukaan hutan. Hal ini bertujuan untuk memperkecil emisi gas-gas rumah kaca sebelum tahun 2060 atau bahkan lebih awal lagi.
Tujuannya kemudian ditekankan melalui penerbitan Peraturan Presiden No. 98 tahun 2021 mengenai Pelaksanaan Nilai Ekonomi Karbon (NEK), untuk meraih sasaran kontribusi yang telah di tetapkan pada tingkat nasional serta Kontrol Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dalam Pembangunan Bangsa.
Berlandasarkan tujuannya yang positif, Asisten Ekonomi dan Pembangunan Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur, Joko Irianto, menggarisbawahi bahwa keputusan ini sejalan dengan Visi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Jawa Timur 2025-2045. Tujuannya adalah menjadikan Jawa Timur sebagai provinsi yang bermoral, maju dengan daya saing internasional, serta lestari dan sejahtera.
“Dengan tujuan agar kita bisa mempromosikan Indonesia FOLU Net Sink 2030 ke seluruh kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur, semoga acara tinjauan rencana kerja yang berlangsung hari ini dapat dilakukan secara efektif dan mencapai persetujuan tentang penentuan titik fokus serta target tindakan mitigasinya bagi setiap pihak yang terlibat,” ungkap Joko saat memberi sambutan dalam workshop program tersebut di hotel Double Tree Surabaya pada Senin (26/8/2024).
Namun, Wahyu pesimis bahwa aturan itu bisa memecahkan masalah penebangan hutan di Jawa Timur. Ini karena, seperti dikatakan Wahyu, regulasi tersebut hanya bergantung pada penghitungan karbon tanpa menyentuh sumber utama dari persoalan tersebut.
“Kebijakan tersebut belum juga mengatasi masalah deforestasi. Jika fokusnya hanya pada perhitungan karbon, nanti bisa berfokus pada satu aspek saja yaitu dengan menanam pohon semata untuk mencapai target karbon,” jelas Wahyu.
Wahyu menyebutkan pula bahwa jika Pemerintah Provinsi Jawa Timur berkeinginan menyelesaikan permasalahan deforestasi hutan, mereka harus melakukan evaluasi terhadap kebijakannya dalam pengaturan wilayah. Menurut Wahyu, pola pengelolaan wilayah yang tidak menjunjung tinggi aspek lingkungan hidup adalah penyebab utama percepatan kerusakan hutan tersebut. Selain itu, hal ini juga harus diiringi dengan pembuatan kebijakan jangka panjang guna mengatasi krisis iklim serta mencegah adanya praktik bisnis yang merugikan ruang alami.
“Pemerintah Provinsi Jawa Timur perlu merevisi regulasi tentang zonasi guna mencegah adanya ketidaksesuaian dalam pemanfaatan lahan dan kembali kepada prinsip dasar zonasi yaitu, pertumbuhan ekonomi harus sesuai dengan zona tersebut, tidak sebaliknya. Tambahan lagi, mereka juga harus menyusun strategi berkelanjutan seperti panduan penyeimbangan antara pembangunan dan lingkungan, yang fokus pada cara-cara agar Jawa Timur bisa mendapatkan reduksi deforestasi serta model-model bisnis yang disesuaikan dengan wilayah daripada merombak area hanya demi kemajuan ekonomi,” jelasnya.
Tanpa usaha itu, tambah Wahyu, keadaan hutan di Jawa Timur akan semakin memprihatinkan dengan tingkat kerusakan hutan yang terus bertambah.
“Memandangi situasi rimba hari ini, saya cukup pesimis tentang kelangsungan hidupnya bakal tetap terjamin. Ancaman perubahan iklim yang makin memburuk akan terus memberi dampak pada suhu udara tinggi ekstrim serta risiko kebakaran hutan dan lahan juga cenderung bertambah besar. Di samping itu, ada pula kendala dalam pengaturan zonasi tanah, misalkan saja kasus adanya ijin penambangan emas di wilayah Trenggalek,” jelasnya.
Dianto juga menyampaikan bahwa kondisi hutan di Jawa Timur berpotensi menjadi lebih buruk jika Pemerintah Provinsi Jatim tidak melakukan evaluasi terhadap kebijakan tata ruang mereka.
“Saya menduga bahwa kemungkinan adanya penebangan hutan yang semakin meningkat atau bahkan hilangnya area-area bervegetasi tersebut akan menjadi lebih besar dan dapat terwujud dengan cepat dalam waktu 1 sampai 2 dekade kedepan daripada kondisi saat ini. Ini menunjukkan nantinya situasinya akan jadi lebih parah,” ungkap Dianto.
Oleh karena itu, opsi yang tersedia bagi Pemerintah Provinsi Jawa Timur adalah melakukan evaluasi kembali terhadap kebijakan zonasi guna mencegah peningkatan deforestasi hutan, atau sebaliknya, mempertegas peraturan zonasi sehingga mendukung operasional tambang, meskipun hal ini dapat merusak hutan tersebut.