Skip to content

Ijazah Dicabut, Jan Hwa Diana Menghadapi Serangkaian Daksa


SURABAYA, AsahKreasi

Jan Hwa Diana, sang pemilik dari UD Sentoso Seal, mungkin akan menghadapi tuduhan hukum usai belasan mantan pekerja mendatangi Polda Jawa Timur untuk melaporkan kasus penghentian sementara ijazah mereka.

Pada hari Selasa tanggal 22 April 2024, terdapat 44 orang mantan pekerja yang dibimbing oleh tim lawyer-nya mengadukan adanya indikasi kejahatan penipuan, pencurian, serta hilangnya aset.

Profesor hukum dari Universitas Airlangga (UNAIR) di Surabaya, Prof Hadi Subhan, menyatakan bahwa Diana bisa menghadapi serangkaian tuduhan karena perusahaan miliknya yang bermasalah.

“Memang, bisa diberikan hukumannya bertingkat,” katanya saat diwawancara oleh AsahKreasikemarin Jumat (24/4/2025).

Prof Hadi menyatakan bahwa relasi di antara pemilik usaha dan pekerja bersifat hierarkis; oleh karena itu, seluruh perjanjian yang dibuat tak memiliki kekuatan hukum, seperti halnya dengan persetujuan tentang penyimpanan sertifikat pendidikan.

“Posisi yang bersifat subordinate sering kali membawa paksaan. Misalnya, saat setuju memberikan ijazah. Sebenarnya hal tersebut tidak harus dijalankan karena kembali pada prinsip bahwa tindakan tersebut seharusnya dilarang,” jelasnya.

Selanjutnya, dia menjelaskan bahwa walaupun tak ada aturan khusus yang melarang perusahaan untuk menahan ijazah, namun di Jawa Timur telah ada Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2016 yang mengharamkan tindakan pengusaha dalam penahanan dokumen pribadi seperti KTP, SIM, serta ijazah.

“Ada juga hukumannya berupa penjara selama 6 bulan atau denda sebesar 50 juta rupiah. Namun, ini tidak termasuk dalam kategori pidana umum, sehingga otoritas yang bertanggung jawab adalah Pengawas Tenaga Kerja,” katanya.

Kasus ini pun muncul lantaran UD Sentoso Seal mengurangi durasi shalat Jumat bagi para pekerjanya menjadi hanya 20 menit saja. Apabila mereka melampaui batasan waktu itu, karyawan akan dikenakan denda sebesar Rp 10.000 dari gajinya.

Hadi mengatakan tegas bahwa itu adalah penyimpangan dari UU Tenaga Kerja.

“Para pengusaha harus memastikan karyawannya memiliki peluang untuk melakukan ibadah menurut kepercayaan mereka. Apabila terdapat pelanggaran, hukumannya bisa mencapai maksimum 4 tahun penjara,” tegasnya.

Di samping itu, upah serta insentif pegawai akan di tunda apabila tak ditemukannya benda yang hilang.

Apabila suatu barang terdapat, karyawan wajib membelinya berdasarkan harga yang telah ditentukan oleh perusahaan.

Gaji yang ditawarkan oleh UD Sentoso Seal kepada pekerja berpengalaman melebihi batas Upah Minimum Kota (UMK) di Surabaya sebesar Rp 4.961.753, sedangkan gaji rata-rata terendah yang diperoleh pegawai adalah hingga Rp3.600.000.

Karyawan yang belum memiliki banyak pengalaman hanya menerima gaji sekitar Rp 2.600.000 sampai dengan Rp 3.040.000, tetapi terkadang pembayaran mereka kurang dari jumlah tersebut.

Merespons terhadap masalah tersebut, Hadi mengungkapkan bahwa pengaturan gaji dalam perusahaan sebaiknya disinkronisasi dengan undang-undang yang berlaku.

“Bila yang dimaksud adalah UMKM atau koperasi, maka aturan upah minimum tidak berlaku. Saya kurang paham jika perusahaan tersebut termasuk ke dalam skala usaha kecil, menengah, atau besar,” jelasnya.

Pemerintah Kota Surabaya juga mengungkapkan bahwa UD Sentoso Seal tidak memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB), sehingga perusahaan tersebut tidak berbadan hukum.

Meskipun mantan karyawan telah melaporkan kasus ini ke Polda Jatim, Hadi berpendapat bahwa seharusnya penyelesaian bisa dilakukan melalui upaya administratif dan perdata, seperti mengembalikan ijazah.

“Misalnya tadi soal ijazah, kalau diupayakan ijazahnya dikembalikan ya sudah selesai. Perusahaan bisa tetap beroperasional, pengusahanya jangan dipenjara,” ujarnya.

Tetapi, Diana mengingkari dakwaan itu dan menyampaikan bahwa mereka tidak memegang Ijazah pekerja.

Dia mengingatkan bahwa apabila perkara ini dilanjutkan ke ranah hukum acara pidana, maka bisa jadi merugikan para karyawan lainnya.

Namun, itulah masalahnya jika pelaku usaha di penjarakan karena tindak pidana, sehingga pabrik mereka dapat tutup. Ini merugikan karyawan lainnya,” katanya menambahkan.

Hadi menyarankan supaya pengawas ketenagakerjaan dan polisi secepatnya bertindak, karena kasus tersebut sudah menyakitkan rasa keadilan publik.

“Bila nantinya tidak segera diproses, risikonya adalah munculnya penegakan hukum yang dilakukan oleh individu-sendiri dan bisa berujung pada terjadinya peradilan sembarangan. Hal ini tentunya merugikan negara, para pelaku usaha, serta warga kota Surabaya,” tegasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *