Skip to content

Guru Besar Unnes Hebohkan Dengan Ijazah S1 UGM, Kontras dengan yang Dimiliki Jokowi

Profesor dari Universitas Negeri Semarang (Unnes), Saratri Wilonoyudho, telah mengunggah kembali ijasah Strata Satu-nya yang diperoleh ketika menempuh studi di Universitas Gadjah Mada (UGM) melalui platform media sosial.

Pada akun Instagram @saratri_wilonoyudho, ia memposting gambar dari sertifikat gelar sarjananya di bidang teknik yang dikeluarkan tahun 1996.

“Ijazah dari Universitas Gadjah Mada tahun 1986,” demikian tertulis oleh Saratri.

Postingan Prof Saratri mencolok karena ia memposting ijasahnya saat terjadi kontroversi seputar ijasah Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi), yang baru-baru ini mendapat perhatian lagi.

Namun demikian, Saratri menjelaskan bahwa tujuannya memposting foto ijazah tersebut hanyalah untuk memberi tahu masyarakat tentang keberadaan ijazah UGM di masa lulusannya.

Dikenal bahwa Saratri graduated di tahun 1986, berselisih satu tahun dari jenjang pendidikan Jokowi yang berakhir pada 1985. Meskipun demikian, apabila dicocokkan, sertifikat sarjana milik Saratri dan duplikat ijazah Jokowi yang diberikan oleh UGM menunjukkan adanya sejumlah perbedaan.

Dia setuju dengan perbedaan itu, meskipun di pihak lain Saratri tidak memiliki kualifikasi untuk mengevaluasi validitasijazah oranglain.

Saratri menjelaskan perbedaan yang mencolok ijazahnya 1886 dibandingkan dengan ijazah keluaran 1985 yang pernah dilihatnya di media sosial.

Menurut Saratri dari aspek penampilan, jenis font yang dipakai tampak beragam. Pada dokumen ijazahnya, fontnya masih memiliki gaya kuno, sedangkan untuk Jokowi, fonthanya kelihatan serupa dengan Times New Roman. Selain itu, nama rektornya pun tidak sama.

Di samping itu, terdapat dua perbedaan lain yang mencolok. Ijazah Saratri tidak memiliki cap pajak layaknya milik Jokowi. Menurut pengetahuan Saratri, fotonya di dalam ijazah pun tak boleh menggunakan kacamata mirip dengan yang dimiliki oleh Jokowi.

“Milikku tak memiliki stempel materai, kemudian foto tidak diperbolehkan memakai kacamata. Juga jenis font berbeda. Perbedaan tersebut apakah disebabkan oleh kebijakan setiap fakultas yang berbeda-beda, aku tidak mengerti,” kata Saratri ketika diwawancara Tirto, Selasa (15/4/2025).

Safatri sungguh tidak dapat menentukan manakahijazah yang valid. Akan tetapi, ia meyakini bahwa bila selisih tahun lulus cuma setahun, perbedaan tersebut sebenarnya cukup kecil.

Menurut Saratri, “Sepanjang yang saya tahu, jika selisih usianya hanya satu tahun, maka hampir mirip. Pada era 1980-an, kebanyakan memang demikian. Format-nya pun nyaris serupa.”

Saratri menggarisbawahi bahwa unggahan-unggahannya bersifat murni untuk tujuan pendidikan serta pembagian ilmu. Sebaliknya, dia menyatakan rasa percaya diri yang tinggi karena semua rangkaian pendidikannya telah dijalani secara jujur dan bertanggung jawab.

“Saya tak dapat menegaskan yang lain. Namun, saya yakin akan keaslian dan kesahalan karya ini sebab, dengan segala hormat, saya belum pernah melakukan plagiarisme atau menyontek, sehingga membuat keyakinan diri saya cukup tinggi,” kata Safatri.

Berikut adalah informasinya, Prof Saratri telah lama berperan sebagai anggota Dewan Riset Daerah (DRD) Jawa Tengah. Ia adalah individu yang pertama kali menyuarakan masalah plagiarisme terkait Fathur Rokhman ketika ia menjabat sebagai Rektor Unnes.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *