JAKARTA, AsahKreasi
– Selama dua minggu, Marcella Santoso (MS), seorang pengacara, ditunjuk sebagai tersangka dalam dua kasus dugaan suap dan Gratifikasi yang berkaitan dengan penyelesaian perkara di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
MS telah dikategorikan sebagai tersangka sebanyak dua kali dalam kasus dugaan suap maupun pemberian hadiah oleh Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Abdul Qohar pada konferensi pers di Kantor Kejaksaan Agung, Jakarta, pada hari Selasa tanggal 22 April 2025.
Insiden pertama melibatkan Marcella serta Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta (MAN), dan dua terdakwa lainnya disebut-sebut sebagai tersangka atas kasus diduga kelalaian dalam menangani perkara putusan bebas untuk ekspor CPO ke tiga perusahaan tersebut, yakni PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group.
Marcella serta koleganya seorang pengacara bernama Ariyanto dikenal telah menyuapi Arif dengan jumlah uang mencapai Rp 60 miliar agar kasus CPO Korporasi tersebut dijatuhi hukuman seperti yang mereka inginkan.
Pengumuman tentang penetapan tersangka tersebut dilakukan pada hari Sabtu (12/4/2025).
Selanjutnya, penunjukan tersangka yang kedua terjadi pada hari Selasa (22/4/2025). Marcella, beserta dengan pengacara Junaedi Saibih dan Direktur Berita di stasiun televisi JAK TV yaitu Tian Bahtiar, dinyatakan sebagai tersangka dalam berbagai kasus hambatan yang sedang diselidiki oleh Jaksa Agung.
Tersangka-tersangka tersebut dicurigai telah menghalangi proses penyelidikan, persidangan, serta pembelaan dalam tiga kasus besar, yakni kasus dugaan korupsi di PT Timah, kasus dugaan kedatangan ilegal gula, dan kasus dugaan suap terkait dengan administrasi perkara ekspor CPO.
Tersangka tersebut diduga telah melanggar Pasal 21 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 mengenai TindakPidana Korupsi, yang kemudian diperbaharui oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, bersamaan denganPasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Pengumuman status sebagai tersangka pada hari ini adalah hasil lanjutan dari investigasi terkait kasus dugaan suap dalam proses hukum ekspor minyak kelapa sawit mentah (CPO) ke tiga perusahaan, yakni PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, serta PT Musim Mas Group, yang sedang berlangsung di Pengadilan Tindakan Korupsi, Jakarta Pusat.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung sudah mengidentifikasi delapan individu sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap yang berkaitan dengan penyelesaian perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tentang putusan eksportasi CPO berdasarkan pengajuan dari tiga perusahaan tersebut yaitu PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, serta PT Musim Mas Group.
Mereka terdiri atas Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel), Muhammad Arif Nuryanta; Panitera Muda Bidang Perdata di Jakarta Utara, Wahyu Gunawan (WG); serta para penasihat hukum untuk perusahaan, yaitu Marcella Santoso dan Ariyanto Bakri.
Selanjutnya, ada tiga panel hakim yang menangani kasus ekspor CPO, di mana Djuyamto berperan sebagai ketua, sementara Agam Syarif Baharuddin dan Ali Muhtarom bertindak sebagai anggota majelis.
Baru-baru ini, Social Security Legal di Grup Wilmar, Muhammad Syafei, telah disebut sebagai tersangka atas dugaan perannya dalam menyediakan dana suap sebesar Rp 60 miliar kepada hakim dari Pengadilan Tipikor Jakarta melalui pengacaranya terkait kasus ini.
Kejaksaan mencurigai bahwa Muhammad Arif Nuryanta, yang ketika itu menempati posisi Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, telah menerima suap sebesar Rp 60 miliar.
Pada saat bersamaan, ketigahakim—yaitu Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, serta Ali Muhtarom—yang menyusun panel pengadilan dicurigai telah menerima suap sebesar 22,5 miliar rupiah. Uang tersebut dikabarkan diserahkan dengan tujuan supaya mereka memutuskancas ekspor minyak sawit mentah untuk dibebaskan dari segala bentuk penuntutan hukum atau biasa disebut ontslag van alle recht vervolging.
Putusan bebas adalah keputusan hakim yang menegaskan bahwa tersangka telah membuktikan adanya perilaku yang di dakwakan, namun tindakan itu bukan bagian dari jenis pelanggaran hukum.