Saya dulu sering menonton pertunjukan seni, konser artis, hingga acara musik. Namun sejak perpindahan saya ke Magelang, minat saya berganti dan menjadi lebih tertarik pada penampilan kesenian lokal yang unik seperti Jathilan, Topeng Ireng, Kubro, atau Hadroh.
Jathilan serta Topeng Ireng juga banyak digemari di kawasan sekitar Magelang seperti Wonosobo, Temanggung, dan bagian dari Purworejo. Beberapa area di Yogyakarta pun turut mengapresiasi Jathilan sebagai bentuk hiburan kesukaan mereka.
Jika sedang menyaksikan konser musik, biasanya saya ikut bergoyah bersama dengan para penggemar lainnya. Namun ketika melihat pertunjukan seni tradisional, tiba-tiba merasa sungguhan segan untuk sekadar menggeliatkan kepalaku. Para penonton dalam atraksi jathilan, topeng ireng, kubro hingga jenis yang lebih moderen layaknya pementasan hadroh sama sekali enggan membebaskan diri lewat gerakan goyang atau irian sebagaimana halnya pendukung pada acara konser lagu populer.
Meskipun demikian, seni tradisional dalam bentuk musik menjadi sangat meriah berkat adanya gamelan, gendang, angklung, serta alat musik dari banda yang semuanya dipentaskan sehingga membuat orang betah untuk menari. Setelah saya amati, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan para penonton acara seni tradisional cenderung tidak ikut bergoyang layaknya pada sebuah konser musik.
1. Tarian bukan nyanyian
Kesukaan para penggemar yang hadir untuk menyaksikan pertunjukan seni tradisional terletak pada koreografi tarian mereka. Penampilan suara lembut serta paras pemainnya tidak menjadi fokus utama bagi audiens tersebut.
Terdapat seorang penyanyi bernama Irul yang merupakan anggota dari kelompok Seni Budaya Rakyat Rimba. Di samping memiliki suara yang indah serta mahir memainkan alat musik gendang, Irul juga dikenal tampan. Energi yang ia pancarkan mirip dengan Ariel dari grup Noah. Tidak heran jika pada akhirnya dia menjadi penyanyi topeng ireng yang paling populer di Magelang dan daerah sekitarnya.
Sebab maksudnya adalah menyaksikan tari, mereka cenderung memakai indra pengelihatannya untuk menikmati pementasan daripada bergerak mengikut irama yang datang melalui indra peraba.
2. Panggung rendah
Kesenian tradisional umumnya bukanlah bentuk hiburan yang bertujuan komersial. Pengunjung dapat menikmatinya tanpa membayar sepeser pun, sementara biayanya ditanggung oleh pihak penyelenggara ataupun individu yang memesan tempat pertunjukan tersebut.
Oleh karena itu, tempat pertunjukan yang disiapkan tak seindah panggangan konser musik. Panggungan tersebut hanya perlu ditinggikan sedikit agar dapat memisahkan antara para pemusik dengan penarinya. Ketinggiannya sangat rendah sehingga hanya penonton di baris tiga terdekat sajalah yang masih mampu mengenali detail dari atas panggung.
Pada saat yang sama, para penari melakukan gerakan mereka di bagian belakang panggung menghadap langsung kepada audiens dalam satu baris sejajar dengan panggung. Hanya terdapat bambu atau tali sebagai pemisah antara penari dan penonton.
Walaupun pertunjukan tradisional digelar di area terbuka seperti lapangan sepak bola, penonton tetap perlu berdiri di bagian depan dekat dengan pagar pembatas supaya bisa melihat gerakan tarian dengan jelas. Berdesakan di depan kawat pembatas pastinya kurang menyenangkan bagi mereka yang ingin menari. Sementara itu, orang-orang yang posisinya lebih belakang dan merasa tak enak badan juga enggan ikut bergoyang karena fokus pada usaha mendapatkan sudut pandang yang baik untuk memperjelas pemandangan para penari maupun pemusiknya.
3. Usia penonton
Semua umur mulai dari balita hingga lansia menontonnya, sementara konser musik kebanyakan dikunjungi oleh remaja dan orang dewasa. Lansia atau orang tua yang datang bersama cucunya pasti tidak akan ikut-ikut bergerak mengikuti alunan lagu. Mereka bahkan tak repot-repot menyibukkan diri dengan gerakan apapun, mungkin cukup goyang kepala pun sudah terlalu untuk mereka.
Di samping itu, banyak penduduk desa merasa sungkan untuk menari di hadapan publik walaupun pementasan dilaksanakan di area mereka sendiri.
4. Beda ekspresi
Para penggemar konser musik mengungkapkan rasa gembira dan emosi melalui berjoget dan bernyanyi bersama. Di sisi lain, para penonton pertunjukan seni tradisional lebih cenderung mengekspresikan diri dengan fokus penuh pada atraksi yang ditampilkan. Gerakan tarian tersebut nanti akan dicoba kembali di rumah, terutamanya oleh generasi muda.
5. Ketentuan sosial serta susunan adat tradisional
Grup band dan artis solo sering bercengkerama dengan pendengarnya pada acara konser guna membina hubungan dekat dengan para fans. Sementara itu, musisi dan tarian tradisional kurang melakukan hal tersebut karena umumnya penonton lebih cenderung pasif dan tak terbiasa menerima interaksi langsung serta hiburan yang menarik.
Pemirsa serta seniman kesenian tradisional tetap tunduk pada aturan sosial dan ciri-ciri tradisi kuno yang ketat jika dibandingkan dengan pertunjukan musik modern.
Terkadang para penyanyi seni tradisional menyapa dan bertanya kabar kepada audiens sebelum kemudian mereka memusatkan perhatian pada pementasan mereka. Walaupun beberapa artis tradisional mencoba dengan segala cara untuk mendorong penonton ikut bergerak, hampir tak ada yang mau mengikutinya selain staf atau anggota kelompok mereka sendiri yang turut menari.
6. Filosofi di Balik Musik dan Tarian
Tiap bait puisi serta melodi dalam pertunjukan musik memiliki arti tersendiri untuk sang penghibur, penulis, ataupun pemirsanya. Di sisi lain, seni tradisional ditampilkan dan digemari sebab mengandung filsafah terkait berani dan kuatnya jiwa, peperangan, kemanusiaan, semangat lokal, serta roh agama.
Menikmati seni tradisional tidak perlu dilakukan dengan bernyanyi atau bergoyah. Hanya dengan memandangnya pun sudah cukup untuk menyentuh jiwa.
***
Musik konser kurang umum di gelar di Magelang. Acara pertunjukan semacam ini cenderung lebih banyak ditemui di Yogyakarta atau area seputaran Candi Prambanan. Di samping itu, selera masyarakatnya pun berbeda dibandingkan penduduk kota-kota besar lainnya. Masyarakat Magelang lebih condong ke arah menyaksikan atraksi tradisional seperti Jathilan, Topeng Ireng, dan Kubro Siswo, serta alat musik tradisional moderen layaknya hadroh.
Karena preferensi penontonannya berbeda, metode menonton mereka juga tidak sama. Bukan seperti bergoyang bersama dan berkibar-kibar seirama lagu sembari menyanyikan liriknya. Meskipun demikian, setiap gaya menonton tersebut tetap perlu dihargai karena penting untuk melestarikan seni tradisional sebagai elemen penyempurna keanekaragaman budaya kita di Indonesia.