Berada di pusat kegaduhan Jakarta, Pasar Barang Antik di Jalan Surabaya, Menteng, menghadirkan atmosfer yang bertolak belakang. Seakan menjadi kapsul waktu tersendiri, area ini terasa jauh lebih tenang dan perlahan.
Mendekati tengah hari, sinar matahari memancarkan kehangatan yang menyengat di atas barisan warung miniatur yang menawarkan kenangan lewat benda-benda kuno. Akan tetapi, kesibukan biasa dari tempat ini tampak suram karena hampir tidak ada pembeli yang berkunjung pada hari itu.
Agus, seorang pedagang perabotan bekas dan mainan kuno yang langka, menyuarakan ketidaknyamanannya tentang kurangnya kehadiran pembeli di tokonya.
Dia mengukur situasi saat ini dengan periode sebelum pandemi COVID-19 ketika pasar masih dipadati pengunjung. “Tidak seperti dulu lima tahun silam, kemungkinan besar disebabkan oleh kondisi ekonomi yang ada saat ini,” katanya menambahkan.
Walaupun telah lama bekerja sebagai penjual barang bekas, Agus baru saja merayakan satu tahun berbisnis di tempat ini. Tokonya yang kecil terlihat penuh dengan aneka merchandise mulai dari keramik, figurin, sampai lampu gantung bernuansa retro.
“Terkadang kami membeli barang tersebut dari penjualan langsung kepada kami atau mencarinya sendiri. Terkadang pula kami mendapatkannya dari tempat pembuangan sampah,” terangnya.
Walau baru-baru ini beberapa benda bekas seperti kamera digital, kaset, serta piringan hitam mulai populer lagi, Agus menyatakan bahwa trend itu belum berdampak baik pada pasar antik di tempatnya. “Bisa jadi orang-orang lebih menuju kepada asosiasi-asosiasi berkualitas tinggi, atau mungkin ke pusat perbelanjaan, bahkan bisa juga lewat penjualan daring,” katanya.
Di sepanjang baris warung di pasar tersebut, wadah-wadah besar, patung besi, lentera gantung tempo dulu, mesin tik, gambar, instrumen musik jaman dahulu, sampai kamera bekas, tetap tertata dengan rapi. Sedikit sekali barang-barang bersejarah yang terjual, tidak ada keramaian suara negosiasi antara pembeli dan penjaja.
Di dekat kios Agus, kedai milik Ujang yang menawarkan berbagai macam kamera lama dan mesin tik pun terlihat sepi. “Para pengunjung biasanya datang sesekali saja, ada kalanya bahkan tidak ada siapa-siapapun,” kata Ujang.
Dia yang telah berdagang selama beberapa dekade merasakan kesedihan atas kondisi saat ini. “Dulunya di era ’90 sih, sangat ramai,” ucapnya sambil mengingat kembali zaman keemasan pasar tersebut.
Ujang pun menceritakan bahwa produknya memiliki berbagai asal-usul. “Kami melakukan transaksi jual-beli, dan terkadang mendapatkan barang dari rumah warga, tentu saja ada sesuatu yang akan dijual jika tidak digunakan lagi,” katanya.
Saat
AsahKreasi
Mengeksplorasi jalur trotoar Pasar yang luas tersebut, suasana tampak jauh lebih sunyi dibandingkan area lain di tengah Kota Jakarta. Terdengar hanya sedikit salam dari para penjual, mereka menginginkan adanya pelanggan yang mampir.
Turis mancanegara beberapa kali tampak berkeliling di antara deretan lapak, namun ia cuma memandangi barang-barang yang dipajang sebelum akhirnya meninggalkannya lagi. Seakan-akan, area tersebut saat ini lebih bermanfaat untuk keperluan fotografi belaka dan tidak lagi menjadi lokasi favorit bagi aktivitas jual-beli.
Terletak di belakang barisan warung yang ada di depan, sebagian hidup masyarakat masih mempertahankan diri di area belakang pasar. Walaupun jauh lebih terselubungi dan tenang, beberapa penjual tetap membuka lapak mereka, tidak mau mengalah kepada situasi.
Sepi sejak Pandemi
Ketua Pedagang Pasar Antik Jalan Surabaya Menteng, Haji Thamim, menyatakan bahwa penurunan jumlah pengunjung benar-benar terlihat sejak munculnya pandemi COVID-19.
“Tempatnya sudah sepi. Tidak serumit dahulu kala. Para pengunjung baik dari dalam negeri maupun mancanegara terkadang hanya melihat-layar tanpa membeli apa-apa,” kata Thamim.
Menurut dia, terdapat kurang lebih 202 warung di pasar tersebut, menyediakan segala jenis produk mulai dari barang antik sampai dengan koper second. Akan tetapi, sebagian pedagang saat ini telah menghentikan kegiatan jual beli mereka. “Sejak pandemi COVID-19 datang, kondisinya tidak menentu lagi. Sudah ada satu atau dua orang penjual yang memilih untuk menutup usaha,” tambahnya.
Pada situasi yang menantang semacam ini, Thamim serta para pedagang lainnya hanya dapat mempercayakan nasib mereka kepada Tuhan Yang Mahakuasa.
“Menurutku secara jujur, umumnya orang beragama hanya mengandalkan harapan pada Tuhan saja. Namun dalam situasi seperti ini, kita tidak dapat bersikap terlalu optimis. Hanya mampu berharap kepada Tuhan,” ungkap Thamim.